Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Inflasi Kian Rendah, Tapi BI Rate Sepertinya Masih Sulit Diturunkan

kantor bank indonesia
Bank Indonesia (setkab.go.id)
Intinya sih...
  • Selisih suku bunga dan inflasi di Indonesia semakin lebar, menimbulkan tekanan daya beli masyarakat dan biaya pinjaman yang tinggi.
  • Ekonom Maybank, Myrdal Gunarto, menilai BI harus tetap defensif dalam mempertahankan suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
  • Pemerintah perlu menerapkan kebijakan fiskal yang antisipatif untuk mendorong aktivitas ekonomi masyarakat.

Jakarta, FORTUNE - Jurang yang makin menganga antara suku bunga acuan (BI Rate) dan inflasi di Indonesia menciptakan dilema tersendiri bagi perekonomian nasional. Masyarakat kini menghadapi tekanan ganda, yakni enggan berbelanja akibat tekanan daya beli, secara bersamaan juga terhambat untuk meminjam ke bank karena tingginya biaya pinjaman.

Sebagai konteks, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi April berada pada level 1,17 persen secara bulanan. Secara tahunan atau year-on-year, inflasi mencapai 1,95 persen. Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menetapkan suku bunga acuan 5,75 persen.

Menanggapi situasi ini, Myrdal Gunarto, Global Markets Economist Maybank, menilai BI berada dalam posisi serba sulit. Otoritas moneter tersebut merasa perlu mempertahankan suku bunga tinggi guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah gejolak global. Tekanan dari potensi keluarnya dana asing (capital outflow) dari pasar keuangan Indonesia menjadi faktor krusial yang sangat memengaruhi pergerakan rupiah.

Oleh karena itu, meskipun inflasi relatif rendah dan ada kebutuhan untuk suku bunga kredit yang lebih rendah demi mendorong konsumsi dan investasi, BI merasa harus menjaga kuda-kuda bertahan.

"Mau tidak mau, BI harus defensif, walaupun situasi inflasinya rendah. Dari sisi kredit juga butuh suku bunga yang lebih rendah, dari konsumen juga butuh cicilan yang lebih rendah, tapi memang mau tidak mau BI harus tetap defensif selama terjadi ketidakpastian global," ujar Myrdal kepada Fortune Indonesia, Jumat (2/5).

Dengan keterbatasan ruang gerak kebijakan moneter yang dihadapi BI, Myrdal menekankan pentingnya peran pemerintah. Di tengah kondisi perekonomian saat ini, pemerintah seharusnya bisa menerapkan kebijakan fiskal yang lebih antisipatif dan efektif dalam mendorong aktivitas perekonomian masyarakat.

Myrdal mencatat bahwa pemerintah telah mengupayakan dukungan melalui berbagai program seperti makan bergizi gratis, Koperasi Merah Putih, pembangunan 3 juta rumah, serta bantuan sosial.

Namun, ia mengingatkan, efektivitas program-program tersebut hanya akan terealisasi apabila pelaksanaannya maksimal dan tanpa penundaan.

"Dari sisi pemerintahnya mau tidak mau harus all out itu dalam melakukan belanja fiskal. Spending juga harus segera direalisasikan, jangan ditunda-tunda," ujarnya.

Myrdal menambahkan, pemerintah sesungguhnya memiliki ruang fiskal berkat keberhasilan penerbitan utang negara. Ruang ini dapat dimanfaatkan sebagai modal pembiayaan pembangunan. Keberhasilan kebijakan fiskal, dengan demikian, sangat bergantung pada komitmen pemerintah merealisasikan belanja negara secara optimal, bukan sekadar perencanaan, demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Myrdal menyimpulkan koordinasi kebijakan fiskal yang aktif dari pemerintah dengan upaya BI menjaga stabilitas makro melalui kebijakan moneternya akan meningkatkan daya tahan Indonesia menghadapi tekanan global. Sinergi ini akan membuka peluang bagi BI untuk pada akhirnya menurunkan suku bunga acuannya.

"Sistematikanya begitu," katanya. "Nanti kalau ekonomi kuat, inflasi rendah, cadangan devisa berlimpah, dan rupiah stabil, pasti BI akan punya ruang untuk turunkan suku bunga."

Share
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us