KaburAjaDulu? Andika Bilang Tinggal Menetap Tak Semudah Jadi Turis

Jakarta, FORTUNE - Klaim mengenai kemakmuran dari tahun ke tahun terus digaungkan. Tingkat pertumbuhan ekonomi sekian persen, level produk domestik bruto (PDB) per kapita sekian dolar Amerika Serikat.
Seiring dengan itu, tidak sedikit yang menepis klaim-klaim tahunan itu dengan hengkang ke luar negeri demi menjadi pekerja migran dan mengubah peruntungan. Dengan gaya Netizen hari-hari ini, aksi itu ditandai dengan tagar #KaburAjaDulu.
Mereka mungkin sadar PDB bukan gaji bulanan, bukan nominal uang yang bisa dibawa pulang.
Masalahnya, pindah ke luar negeri sebenarnya bukan untuk semua orang. Itu keputusan yang hanya bisa dibuat oleh mereka yang benar-benar siap. Sebab, percayalah: ada memang WNI yang memamerkan kesuksesannya di media sosial setelah menjadi pekerja migran, tapi pasti ada juga yang bertanya-tanya apakah keputusannya sudah tepat.
Fortune Indonesia berbicara dengan Andika, seorang WNI yang telah lebih dari enam tahun bekerja di Singapura, dan telah berstatus sebagai permanent resident (PR). Dia bekerja sebagai engineer pada sebuah perusahaan teknologi. Wawancara ini sudah disunting demi kejernihan dan kejelasan.
Boleh dibagikan bagaimana pandangan Anda sejauh ini menjadi pekerja migran?
Intinya saja, ya: tinggal menetap itu berbeda dari kunjungan biasa sebagai turis selama beberapa hari atau minggu.
Maksudnya?
Ini sudut pandang saya saja, ya, selama bekerja di SG (Singapura) sejak awal 2018. Waktu itu saya ke sini jauh sebelum ramai-ramai hashtag #KaburAjaDulu.
Singapura itu melting pot. Enggak cuma skala Asia, tapi dunia. Kita harus beradaptasi dengan budaya dan cara kerja.
Perusahaan startup tempat saya pertama kerja di SG, walaupun karyawannya di SG enggak lebih dari 40 orang, tapi mereka itu orang India, Cina, Australia, Vietnam, Thailand, Korea, Polandia, dan seterusnya.
Jadi, bayangkan saja. Timnya kecil, tapi punya deliverable yang lebih ambisius dibandingkan tim di Indonesia yang jumlahnya bisa tiga kali lipatnya. Jadi, harus kerja beneran. Enggak boleh ada sumber daya yang terbuang. Enggak ada acara jam 4 sore turun buat [merokok] dulu.
Selain gaji lebih bagus dari tawaran perusahaan pada industri yang sama di Indonesia, keuntungan kerja di Singapura apa?
Kesempatan bekerja dengan profesional-profesional dari banyak negara. Kesempatan untuk bersaing dan bertarung sampai titik darah penghabisan secara fair & profesional. Kesempatan untuk fokus pada hal-hal esensial tanpa direcokin printilan enggak penting.
Anak-anak saya bisa dapat pendidikan yang bagus dan terjangkau, karena kami sekeluarga sudah menjadi PR.
Lalu, kesempatan untuk menjadi lebih sehat luar-dalam karena polusinya rendah, dan fasilitas untuk jalan kaki ada di semua tempat. Pemerintah mengatur kualitas makanan--kadar gula dan garam--di supermarket dan kantin-kantin.
Secara sosial sehari-hari, saya enggak terlalu menemukan masalah. Soalnya, secara budaya atau kultur masih dekat sama Indonesia. Banyak orang Melayu/masjid/komunitas Indonesia.
Keluarga juga enggak terlalu masalah. Anak saya yang pertama masih 2,5 tahun waktu kami pindah. Cuma, ya, mesti ngobrol panjang sama istri aja sih.
Apa sisi negatif yang langsung kentara?
Apa-apa mahal. Posting IG (Instagram) orang-orang itu cuma ngasih lihat enaknya doang. Kita mesti proporsional memandangnya.
Sewa apartemen atau kamar plus bayar sekolah di sini mahal banget. Jadi, apa-apanya mesti dihitung. Ini saya ngomong dari sudut pandang orang asing, ya. Soalnya [status orang asing itu] enggak dapat grant apa-apa dari pemerintah Singapura.
Berbeda dari PR [permanent resident] dan warga Singapura, yang dapat lumayan banyak subsidi.
Dulu apa motivasi pindah ke Singapura?
Awalnya ego pribadi. saya merasa [lingkungan kerja di Indonesia] sudah saturated. Saya Kepengin push lebih jauh lagi, nantang diri sendiri.
Saya mau merasakan gimana kerja di tempat baru, enggak kenal siapa-siapa, mulai build network dan karier dari bawah lagi. Udah, awalnya gitu doang.
Menurut Anda, susahkah syarat-syarat untuk menjadi PR?
Syaratnya sih gampang, cuma paperwork. Tetapi, kriteria untuk di-approved [sebagai PR] ini sungguh enggak ada yang tahu.
Intinya, pemerintah Singapura akan cek profil applicants thoroughly, ujung ke ujung, dan kasih keputusan.
Mereka kepengin tahu apa untung dan risikonya buat negara kalau menerima ini applicant jadi PR.
Banyak orang berspekulasi [bahwa untuk diterima sebagai PR] pertimbangannya adalah kombinasi antara sejumlah hal: lama dia tinggal di SG, pendidikan, skillsets/capability, profil keluarga (punya anak laki-laki peluangnya lebih besar), penghasilan, asal negara, dll.
Mereka approved PR application saya setelah tujuh bulan sejak submit.
Teman-teman saya dari India, bisa sampai 1,5 tahun. Itu pun kebanyakan ditolak, dan alasannya enggak dikasih tahu.