Keuangan Daerah Belum Efisien, Honor PNS Bisa Capai Rp25 Juta

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan masih banyak daerah yang belum mengelola keuangannya secara efisien dan memanfaatkannya dengan optimal. Penggunaan dana alokasi umum (DAU) misalnya, lebih didominasi untuk belanja pegawai ketimbang program-program pelayanan publik.
Besarnya porsi belanja pegawai itu juga tercermin dari besaran honorarium pegawai negeri sipil (PNS) di daerah. Meski jumlahnya bervariasi di tiap daerah, namun ia menemukan gap yang cukup jauh yakni antara Rp325 ribu sampai Rp25 juta.
"Bervariasinya pemberian honorarium PNS daerah dari minimal sebesar Rp325 ribu hingga maksimal Rp25 juta," ujarnya dalam Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (7/11).
Tak hanya honorarium, Sri Mulyani juga mengungkap besaran perjalanan dinas PNS daerah yang menurutnya tak efisien. Bahkan jumlah uang perjalanan dinas PNS di daerah lebih tinggi dari para abdi negara di pusat. "Uang harian perjalanan dinas yang rata-rata 50 persen lebih tinggi dari pusat," mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.
Menurut Sri Mulyani, kondisi yang berlangsung sejak era desentralisasi keuangan tersebut tak ideal dan menciptakan ketimpangan antar daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Karena itu, kondisi ini perlu disikapi dengan penyusunan kebijakan baru yaitu Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah (RUU HKPD).
"Oleh karena itu di UU ini kita coba menangani isu tersebut. Apalagi selama desentralisasi fiskal, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) telah meningkat. Contoh 2013 TKDD itu Rp528 triliun, di 2021 Rp795 triliun. Kenaikan sangat besar namun belum termanfaatkan secara optimal," jelasnya.
Selain pemanfaatan DAU yang tak optimal, penggunaan dana alokasi khusus (DAK) dari pusat juga belum tepat sasaran karena tidak dijadikan sumber utama untuk belanja modal. Hal ini terjadi karena kemampuan daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat minim.
Ia menyebut, porsi PAD masih di kisaran 24,7 persen dari APBD dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, daerah terlalu mudah menghamburkan uang untuk program dan kegiatan yang terlalu banyak.
"Belanja daerah belum fokus dan efisien, di mana terdapat 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan. Serta pola eksekusi APBD yang masih business as usual, selalu tertumpu di kuartal IV sehingga mendorong adanya idle cash di daerah," pungkasnya.