Pemerintah Soroti Empat Tantangan Utama Industri Pos dan Logistik Indonesia

- Komdigi soroti 4 tantangan utama industri pos dan logistik di Indonesia
- Aksesibilitas dan konektivitas layanan pos di Indonesia belum inklusif
- Adopsi teknologi digital pada sektor logistik cenderung lambat
- Terjadi persaingan tidak sehat pada industri pos, dan tata kelola regulasi pos belumlah efektif
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah menyoroti empat tantangan utama dalam industri pos dan logistik, sebagaimana termaktub dalam Dokumen Rancangan Strategis (Renstra) 2025-2029, yang diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Senin (27/10).
Pertama, kementerian itu menyebutkan bahwa aksesibilitas dan konektivitas layanan pos di Indonesia belum inklusif. Pasalnya, jumlah titik layanan pos masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan, dan keberadaannya di daerah terpencil masih terbatas. Ini diperparah dengan belum matangnya rantai logistik, yang masih mengalami kendala dalam hal ketersediaan dan kualitas. Pada akhirnya, terjadi kesenjangan tarif layanan serta waktu pengiriman barang antar-wilayah di Indonesia.
“Jumlah titik layanan pos masih rendah [yakni 69 persen dari seluruh kecamatan di Indonesia per 2024]. Titik layanan pos Indonesia belum merata [58 persen titik layanan pos lama masih terkonsentrasi di Pulau Jawa],” demikian petikan bunyi dokumen tersebut, Senin (27/10).
Kedua, Komdigi menyoroti bahwa adopsi teknologi digital pada sektor logistik cenderung lambat. Menurut dokumen tersebut, hanya penyedia layanan pos berskala besar yang cenderung dapat melakukan adopsi teknologi digital. Sebaliknya, penyedia layanan berskala kecil masih menggunakan teknologi konvensional.
Itu terjadi karena masih rendahnya kemampuan untuk melakukan investasi pada teknologi digital, khususnya bagi industri berskala mikro dan kecil, serta masih minimnya pemahaman pelaku industri untuk mengadopsi teknologi digital.
Ketiga, adanya persaingan tidak sehat pada industri pos. Praktik monopoli dinilai kerap terjadi, khususnya di tengah keberadaan lokapasar. Di sisi lain, penindakan tegas atas praktik tersebut belum diterapkan.
Keempat, tata kelola regulasi pos belum efektif. Regulasi yang mengatur aktivitas pos masih tumpang tindih, dengan perizinan penyelenggaraan aktivitas pos terbagi ke beberapa kementerian.
“Hal ini yang kemudian menjadi salah satu penyebab terjadinya perang tarif antar-penyedia layanan. Selain itu, kondisi regulasi yang fragmented belum disatukan oleh roadmap maupun rencana nasional terkait pembangunan industri pos ke depannya,” demikian Komdigi.

















