Pemulihan Ekonomi Belum Merata, Stimulus Diharapkan Terus Lanjut

Jakarta, FORTUNE - Rilis produk domestik bruto (PDB) terbaru Indonesia menunjukkan perekonomian domestik pada 2024 tumbuh 5,03 persen dibandingkan dengan 5,05 persen pada 2023, dan 5,31 persen pada 2022. Pasar mengkhawatirkan kondisi ini sebagai sinyal pelemahan ekonomi. Mengamati hal tersebut, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memandang pemulihan pasca-pandemi yang belum merata masih membayangi perekonomian Indonesia.
Chief Investment Officer MAMI, Samuel Kesuma, menyatakan di antara penyebabnya adalah lemahnya pertumbuhan pada penjualan ritel serta indeks keyakinan konsumen yang belum pulih ke level pra-pandemi pada segmen masyarakat dengan tingkat konsumsi rendah.
Sejauh ini, dia menilai pemerintahan Prabowo Subianto masih memberikan perhatian dan menjadikannya sebagai fokus pada awal masa kerjanya. Ini terbukti dari kebijakan dan guyuran stimulus yang diimplementasikan pada kuartal I-2025, mulai dari kenaikan upah minimum regional (UMR) yang lebih tinggi dari ekspektasi, pembatalan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang sebelumnya telah diundang-undangkan, paket stimulus ad hoc senilai Rp38 triliun, hingga pemangkasan suku bunga acuan BI Rate.
“Tak dapat disanggah, kita belum dapat memastikan efektivitas booster-booster ekonomi tersebut, apalagi di tengah potensi melemahnya perdagangan dunia akibat perang tarif. Kami mengharapkan pemerintah terus mengawal dan mendukung pertumbuhan dengan kebijakan-kebijakan lanjutan. Jangan hanya difokuskan di kuartal pertama ini saja,” ujar Samuel dalam risetnya, dikutip Selasa (18/2).
Sementara itu, Samuel memperkirakan untuk jangka pendek, likuiditas dalam negeri masih akan relatif ketat menyusul pemulihan ekonomi yang belum sesuai harapan. Hal ini tecermin pada rasio loan-to-deposit ratio (LDR) perbankan yang masih cukup tinggi.
Walaupun demikian, situasi likuiditas masih berpotensi mengalami perbaikan secara bertahap melalui koreksi daya beli konsumen yang didorong kebijakan pemerintah yang suportif, serta penerapan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) yang baru. Penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang terus dikurangi secara bertahap juga akan berdampak positif pada kondisi likuiditas domestik.
Di samping itu, likuiditas global akan sangat tergantung pada kebijakan Fed. Untuk saat ini, bank sentral Amerika Serikat itu masih cenderung mengambil sikap hati-hati.
Pasar pun masih terus memantau arah kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang akan sangat berpengaruh pada outlook inflasi dan kebijakan suku bunga nantinya.