Peringkat Jakarta, Surabaya dan Bandung di Global City Index

Jakarta, FORTUNE - Perkotaan menjadi medan strategis dalam kompetisi global. Jakarta sudah lebih dahulu memulai transformasi itu, namun kota-kota lain di Indonesia perlu segera menyusul. Hal ini ditegaskan lewat peluncuran Global Cities Framework oleh firma konsultan manajemen global, Kearney, yang menjadi peta jalan bagi kota-kota dunia untuk meningkatkan daya saing mereka melalui delapan area keunggulan.
Bingkai kerja ini disusun berdasarkan Global Cities Index (GCI) yang Kearney terbitkan tiap tahun sejak 2008, mengukur konektivitas dan pengaruh kota-kota di dunia. Kehadiran kerangka ini penting di tengah proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) yang memperkirakan pada 2025, 60 persen populasi Indonesia akan tinggal di perkotaan. “Transformasi perkotaan menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas hidup dan mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Shirley Santoso, Presiden Direktur Kearney Indonesia, dalam temu media di Jakarta (15/7).
Jakarta, Surabaya, dan Bandung kini masuk dalam jajaran kota global dengan peringkat masing-masing 74, 148, dan 153 di GCI 2024. Namun kesenjangan antara peringkat ini dengan potensi sebenarnya masih sangat besar. Shirley mengatakan, keberhasilan implementasi Global Cities Framework bertumpu pada tiga pilar, yakni memastikan ketersediaan sumber pendanaan yang berkelanjutan dan beragam, membangun pipeline sumber daya manusia yang kuat, serta kesiapan menghadapi masa depan untuk memimpin transformasi di lapangan.
Shirley menambahkan, “Inisiatif ini bukan sekadar konsep. Kerangka ini sudah menjadi panduan dalam transformasi Jakarta menuju peringkat 20 besar Kota Global pada tahun 2045, dan 50 besar pada tahun 2030. Kami mengucapkan selamat kepada Jakarta atas peluncuran strategi dan implementasi yang sedang berjalan. Kami juga ingin melihat lebih banyak kota di Indonesia mengikuti jejak ini.”
Namun, ia juga menggarisbawahi tantangan besar Jakarta dalam pembiayaan pembangunan untuk menyamai kota-kota di Cina. “Kalau kita bandingkan dengan kota-kota di Cina seperti Guangzhou atau Shanghai, pendanaan mereka itu lima sampai enam kali lipat lebih besar dari Jakarta setiap tahunnya. Jadi untuk menjadi kota global, Jakarta tidak bisa hanya mengandalkan APBD saja,” ujarnya.
Karenanya, Jakarta perlu membuka ruang fiskal lebih luas dan mulai menerapkan skema pembiayaan kreatif. “Jadi ruang-ruang fiskal itu harus di-boost, harus dibuka, karena pembangunan kota Jakarta itu membutuhkan kalau mau sampai level top 20 global city. Contoh lain, di Bangkok itu mereka juga ruang fiskalnya lebih besar. Mereka enggak hanya bergantung dengan APBD juga, mereka kreatif agensinya seperti yang saya sebut: municipal bond, endowment fund, dan sebagainya. Nah, ini yang harus dibuka di Jakarta,” ujar Shirley.
Ia juga menyoroti besarnya kebutuhan pembangunan Jakarta sangat signifikan, mengingatkan kondisi dasar Jakarta yang dibangun di era kolonial dengan kapasitas awal hanya untuk dua juta penduduk. “Kalau kita lihat, ada kebutuhan pembangunan jaringan air, mitigasi banjir, transportasi publik seperti MRT, high speed bus. Itu sangat signifikan. Jadi pembangunan Jakarta butuh kolaborasi multi-stakeholder. Semua pihak perlu berpartisipasi, termasuk perubahan mindset masyarakat. Kalau kota lebih bersih, akan mengurangi jumlah sampah yang harus dikelola kota. Hal kecil, tapi penting untuk transformasi kota.”
Menurutnya, langkah Jakarta yang sudah meluncurkan strategi global city sangat baik. Namun, Jakarta juga harus menetapkan sektor prioritas yang menjadi ciri khasnya untuk berkompetisi di skala global. Selain itu, tidak bisa membandingkan Jakarta dengan Singapura, karena sektor informal masih sangat signifikan.
"Ada beberapa sektor penting untuk Jakarta. Pertama, sektor service economy. Kalau lihat kota-kota global dan karakteristik Jakarta, service economy akan tetap sangat penting. Itu termasuk pariwisata, healthcare, layanan keuangan, MICE — meetings, incentives, conferences, exhibitions. Jakarta banyak sekali big meetings, yang kontribusi ekonominya besar sekali. Semua service industry itu sangat kunci.”
Faktor kedua yang menjadi penopang penting bagi Jakarta menuju kota global adalah penguatan ekonomi kreatif. Dengan mayoritas penduduk yang masih berusia muda, Jakarta memiliki modal demografis yang besar untuk mengembangkan industri yang tidak hanya menjanjikan pertumbuhan, tetapi juga menawarkan ruang ekspresi dan kesenangan bagi generasi muda. Sektor seperti desain grafis, periklanan, pariwisata, seni pertunjukan, dan musik menjadi lahan potensial yang perlu dikelola lebih serius. Kota ini juga memiliki banyak rumah produksi film dan talenta kreatif yang belum sepenuhnya dimanfaatkan secara strategis. Belajar dari New York yang membangun kekuatan budayanya melalui Broadway, Jakarta dinilai memiliki peluang besar untuk menciptakan pusat budaya serupa yang mampu mengangkat seni pertunjukan lokal ke panggung global.
Tak kalah penting adalah sektor digital dan teknologi. “Digital and technology juga salah satu industri yang penting buat Jakarta bangun ke depannya. Jadi, lebih forward-looking type of industry yang memaksimalkan potensi kota dan potensi demografi yang kita punya yang masih muda. Kalau Jakarta mengembangkan ini, kota-kota lain di Indonesia bisa belajar dari Jakarta dan mulai mengembangkan industri-industri tersebut,” ujar Shirley. Menurutnya, hal itu juga akan berdampak bagi UMKM dan sektor informal.
Pilar kota global bisa diadopsi di kota-kota di Indonesia

Sementara itu, Rohit Sethi, Senior Principal di Kearney, menegaskan bahwa daya saing kota tidak semata dinilai dari kekuatan ekonominya. Menurutnya, setiap kota harus mampu merumuskan proposisi nilai uniknya yang melibatkan kontribusi aktif warga, pelaku usaha, dan komunitas. Dalam konteks Indonesia, berarti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota-kota lainnya perlu merancang peta jalan transformasi yang disesuaikan berdasarkan kekuatan dan potensi masing-masing.
“Kota-kota yang paling sukses adalah mereka yang mampu menciptakan nilai dalam berbagai aspek, mulai dari tata kelola, infrastruktur, keberlanjutan, budaya, hingga kualitas hidup,” katanya.
Dengan modal strategi kota global yang sudah dicanangkan, Jakarta diharapkan menjadi lokomotif yang menggerakkan transformasi perkotaan di Indonesia. “Kalau ini dijalankan dengan baik, bukan cuma Jakarta yang bisa naik kelas, tapi juga kota-kota lain di Indonesia yang belajar dari Jakarta,” ujar Shirley.
Perubahan global memberikan banyak pelajaran berharga. Berikut adalah beberapa wawasan utama dari kota-kota unggulan yang menunjukkan ambisi visioner serta pendekatan praktis dalam meningkatkan daya saing perkotaan:
Bisnis dan ekonomi: Pelabuhan Tanjung Pelepas (PTP) di Johor, Asia Tenggara, yang pada Mei 2024 menangani lebih dari 1 juta Twenty-foot Equivalent Units (TEUs) dalam satu bulan merupakan contoh sukses pengembangan wilayah pesisir. Selain itu, kota-kota di kawasan APAC seperti Singapura dan Hong Kong terus menempati peringkat teratas dalam hal iklim usaha.
Masyarakat dan tenaga kerja: Peningkatan daya saing tenaga kerja telah dilakukan melalui berbagai inisiatif, termasuk Tech.Pass di Singapura dan program Startup Visa di Fukuoka yang merupakan bagian dari National Strategic Special Zone pemerintah Jepang. Penanganan gaya hidup tidak sehat juga menjadi aspek penting dalam meningkatkan kesehatan publik, dengan model yang sukses secara global seperti Healthy Living Master Plan di Singapura dan pusat kesehatan kota di Tokyo.
Pariwisata dan branding: Sebuah kota dapat meningkatkan kualitas dan ketersediaan hiburan dengan memperkuat daya tariknya sebagai destinasi wisata. Sebagai contoh, Bangkok memanfaatkan nighttime economy dengan memperpanjang jam operasional bisnis, meningkatkan keamanan, dan lainnya. Michelin Guide Thailand yang didukung pemerintah juga telah mendorong pertumbuhan sektor pariwisata dan investasi kuliner kelas atas.
Lingkungan dan keberlanjutan: Kota-kota padat penduduk yang menghadapi tantangan lingkungan dapat mengambil pelajaran dari Tokyo. Kota ini berhasil mengurangi risiko banjir dan tanah longsor akibat urbanisasi yang pesat dan curah hujan tinggi melalui infrastruktur yang inovatif.
Infrastruktur dan mobilitas: Sebuah kota global membutuhkan infrastruktur digital yang tangguh untuk memenuhi tuntutan teknologi yang terus meningkat. Malaysia memberikan contoh yang baik untuk sektor ini, yakni melalui Digital Nasional Berhad yang diluncurkan pada 2021 untuk membangun wholesale network tunggal nasional.
Litbang dan inovasi: Jepang menjadi contoh pendekatan yang terstruktur dan berdampak tinggi untuk pendanaan riset dan pengembangan (R&D) institusional melalui lembaga seperti Japan Science and Technology Agency. Sementara itu, Thailand memberikan insentif kuat dari sektor swasta, termasuk pembebasan pajak hingga 13 tahun, depresiasi yang dipercepat, dan lainnya.
Tata kelola, kelembagaan, dan pembiayaan: Melampaui pembiayaan dari anggaran negara dan membentuk unit-unit khusus yang selaras dengan prioritas tematik dapat mempercepat kemajuan di bidang-bidang strategis. Misalnya, kantor ketahanan iklim seperti yang dimiliki Tokyo, Singapura, atau London dapat menjadi penggerak utama inisiatif keberlanjutan.
Rohit juga menyoroti bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi keharusan. “Kami percaya bahwa kota-kota ini memiliki kemampuan untuk menentukan arah globalnya sendiri dengan berfokus pada elemen-elemen utama keunggulan perkotaan, sebagaimana dirumuskan dalam Global Cities Framework kami. Namun, pada akhirnya, kesuksesan sejati sangat bergantung pada kolaborasi yang kuat antara para pemangku kepentingan, baik dari sektor publik maupun swasta, lebih dari sekadar visi yang berani,” ujar Rohit.