Market Share Ekonomi Syariah RI Stagnan 7,7%, INDEF: Butuh UU & Menko

- Market share keuangan syariah RI stagnan di level 7,7% dalam setahun terakhir karena lemahnya koordinasi kelembagaan keuangan syariah di Indonesia.
- Pendirian BSN dan bullion bank menjadi pendorong pembiayaan syariah dengan pertumbuhan 8,13% (YoY) dan kontribusi 30% pada sukuk global.
- Tantangan utama terletak pada koordinasi kelembagaan antara OJK dan DSN MUI yang belum terintegrasi serta standar screening saham syariah yang lebih longgar dibanding Malaysia.
Jakarta, FORTUNE – Market share keuangan syariah Indonesia tercatat stagnan di level 7,7 persen dalam setahun terakhir. Kondisi ini terjadi lantaran lemahnya koordinasi kelembagaan keuangan syariah di Indonesia sehingga kurang mengoptimalkan potensi yang besar.
Hal itu disampaikan Peneliti Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Abdul Hakam Naja. Ia menilai Indonesia membutuhkan Undang-Undang (UU) khusus ekonomi syariah dan pembentukan menteri koordinator khusus untuk mengelola koordinasi lintas lembaga.
“Pengesahan UU ekonomi syariah komprehensif dan penunjukan Menko khusus yang memiliki mandat penuh untuk mengkoordinasikan seluruh pemangku kepentingan guna mewujudkan visi Indonesia sebagai Pusat Ekonomi Syariah Dunia 2029,” kata Abdul melalui keterangan resmi di Jakarta, Kamis (16/10).
Ia menyebut, fragmentasi kelembagaan dan koordinasi yang lemah antara Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan kementerian/daerah memicu tumpang tindih kebijakan dan implementasi tidak merata. Padahal,ekosistem halal berkontribusi Rp9.827 triliun terhadap PDB.
Pendirian BSN & bullion bank pacu pembiayaan syariah

Di sisi lain, INDEF juga mengapresiasi pembentukan Bank Syariah Nasional (BSN) dan bullion yang dinilai menjadi pendorong pembiayaan syariah. Apalagi, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pembiayaan perbankan syariah tumbuh 8,8 persen (YoY) di April 2025 atau melampaui pembiayaan konvensional.
“Pendirian lembaga ini sebagai second anchor memacu pembiayaan syariah. Kebijakan likuiditas penempatan dana pemerintah Rp200 triliun di Himbara juga berhasil menurunkan cost of fund dan memperluas pembiayaan ke sektor produktif, meski berisiko evergreening dan perlu pengawasan syariah yang ketat,” kata Nur Hidayah selaku Kepala CSED INDEF.
Sementara itu, potensi besar pasar modal syariah Indonesia juga dianggap sebagai sleeping giant yang kini bangun, ditandai pertumbuhan 7 persen kenaikan emiten syariah dan kontribusi 30 persen pada sukuk global.
Namun, Nurhastuty Wardhani, Peneliti Associate CSED INDEF menilai tantangan utama terletak pada koordinasi kelembagaan antara OJK dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang belum terintegrasi. Serta adanya standar screening saham syariah yang lebih longgar dengan rasio utang 45 persen atau lebih tinggi dibanding Malaysia sebesar 33 persen.
“Dibandingkan Malaysia, kondisi ini membuat pasar Indonesia lebih volatil namun menarik lebih banyak investor asing,” kata Nurhastuty.
Dengan demikian, pihaknya memberikan rekomendasi mencakup percepatan integrasi fatwa dan regulasi, peningkatan literasi melalui kurikulum pendidikan, serta digitalisasi platform dan konektivitas pasar ASEAN untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat keuangan syariah dunia.