Chip AI Nvidia Senilai Rp16 Triliun Diduga Masuk Cina via Jalur Ilegal

Jakarta, FORTUNE - Chip kecerdasan buatan (AI) produksi Nvidia, diduga masuk secara ilegal ke Cina. Kabar ini bergulir di tengah aturan pemerintah Amerika Serikat yang memberlakukan larangan ekspor chip AI kelas premium buatan Nvidia. Nilai transaksi chip tersebut diperkirakan melampaui US$1 miliar atau setara sekitar Rp16 triliun.
Melansir Financial Times(29/7), unit chip model B200—salah satu perangkat AI tercanggih buatan Nvidia—secara resmi masuk dalam daftar larangan ekspor AS ke Cina sejak kebijakan pembatasan diberlakukan. Namun, chip ini kini justru ditemukan banyak beredar di pasar gelap. Perangkat keras Nvidia tersebut kabarnya digunakan oleh sejumlah penyedia layanan data center di Cina guna menunjang pengembangan sistem AI domestik.
Informasi ini diperoleh dari kombinasi kontrak penjualan, dokumen internal korporasi, dan kesaksian dari beberapa pihak yang mengetahui langsung proses transaksi. Diduga kuat, distribusi chip-chip AI ilegal itu masuk melalui wilayah-wilayah utama teknologi di Cina seperti provinsi Guangdong, Zhejiang, dan Anhui.
Menanggapi laporan peredaran chip secara tidak sah ini, pihak Nvidia akhirnya memberikan pernyataan resmi. "Nvidia hanya menyediakan layanan dan dukungan teknis untuk produk-produk yang disalurkan melalui mitra resmi," kata juru bicara perusahaan saat dikonfirmasi oleh Reuters (27/9).
Perusahaan menegaskan bahwa penggunaan chip yang diperoleh melalui jalur tidak resmi bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga menghadirkan inefisiensi dari sisi teknis dan ekonomi. Para pembeli di pasar gelap pun dipastikan tidak akan memperoleh garansi, update perangkat lunak, maupun layanan purna jual.
Sementara itu, hingga saat ini belum ada tanggapan resmi dari pemerintah Amerika Serikat, termasuk dari Departemen Perdagangan ataupun Gedung Putih, mengenai temuan tersebut. Pemerintah Thailand, yang juga disinggung dalam laporan, belum mengeluarkan pernyataan apa pun. Reuters menyatakan belum dapat memverifikasi laporan dari Financial Times secara independen.
Financial Times juga melaporkan sejak Mei 2025, para distributor asal Cina mulai menawarkan chip B200 secara terbuka kepada penyedia pusat data lokal di negaranya.
Proses penawaran itu berlangsung aktif di wilayah-wilayah yang dikenal sebagai pusat distribusi teknologi, seperti Guangdong, Zhejiang, dan Anhui. Selain chip B200, produk lain seperti H100 dan H200—yang juga masuk dalam daftar barang terbatas dari AS—ikut beredar melalui jalur tidak resmi.
Laporan tersebut turut menyoroti bahwa beberapa negara di Asia Tenggara berperan sebagai titik transit atau pintu masuk alternatif dalam pendistribusian chip-chip AI yang dibatasi.
Diduga, sejumlah perusahaan asal Cina memanfaatkan kelonggaran aturan di kawasan Asia Tenggara untuk menghindari larangan ekspor dari Washington. Bahkan muncul kekhawatiran bahwa Thailand akan menjadi target berikutnya dari pengetatan regulasi oleh Departemen Perdagangan AS.
Kebijakan baru yang sedang digodok pemerintah AS disebut-sebut akan memperluas cakupan kontrol ekspor terhadap produk teknologi tinggi, dan bisa mulai diterapkan pada September 2025.
Perseteruan antara Amerika Serikat dan Cina dalam ranah pengembangan teknologi mutakhir, termasuk AI, semakin intens. Situasi ini menempatkan perusahaan seperti Nvidia dalam posisi sulit karena harus menjaga hubungan dagang dengan kedua kekuatan besar industri teknologi dunia.
Sebagai langkah pencegahan lanjutan, AS tengah mempertimbangkan pembatasan ekspor tambahan untuk mencegah teknologi strategis mereka jatuh ke tangan yang tidak diinginkan. Langkah tersebut bukan hanya soal kontrol perdagangan, tetapi juga strategi geopolitik yang menempatkan distribusi chip sebagai instrumen kekuasaan di era teknologi tinggi.