ASEAN Power Grid: Jaring Penyelamat Energi di Tengah Krisis Iklim

- ASEAN Power Grid (APG) menjadi solusi strategis untuk memenuhi lonjakan permintaan energi dan mempercepat transisi ke listrik rendah karbon.
- Interkoneksi ketenaga listrikan membawa peluang ekonomi baru, efisiensi energi, dan penurunan biaya investasi pembangkit dan penyimpanan energi.
- Pentingnya komunikasi strategis dalam membangun narasi bersama untuk menepis kecemasan nasionalisme energi dan pengembangan ASEAN Projects of Common Interest.
Jakarta, FORTUNE - Asia Tenggara kini berada di persimpangan jalan dalam sektor energinya. Pertumbuhan ekonomi yang pesat memicu peningkatan tajam dalam konsumsi listrik, sementara tuntutan global untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih semakin mendesak. Di tengah dinamika yang kompleks ini, ASEAN Power Grid (APG) hadir sebagai solusi strategis yang menjanjikan untuk menjawab tantangan lonjakan permintaan energi sekaligus mempercepat transisi menuju masa depan kelistrikan yang rendah karbon.
Kebutuhan mendesak akan solusi ini ditegaskan oleh Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam sebuah webinar bertajuk "Is ASEAN Ready to Advance Its Regional Cross-Border Electricity Initiative?" pada Rabu (16/4).
“ASEAN berpotensi kehilangan hingga 37 persen PDB akibat dampak perubahan iklim,” kata Arief.
Arief merujuk pada proyeksi ASEAN Energy Outlook ke-8 yang memperkirakan lonjakan konsumsi energi final di kawasan ini hingga 2,6 kali lipat pada 2050, mencapai angka fantastis 1.107,9 juta ton ekuivalen minyak (Mtoe).
Dalam skenario tersebut, ASEAN Power Grid—sebuah jaringan interkoneksi listrik yang menghubungkan negara-negara anggota ASEAN—diharapkan dapat menjadi fondasi utama bagi pasokan listrik yang bersumber dari energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin.
“Optimalisasi APG yang mengutamakan energi bersih menjadi kunci keluar dari jebakan karbon. Ini bukan hanya tentang pasokan listrik, tapi juga soal menghindari kerugian ekonomi jangka panjang,” ujar Arief.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Nadhilah Shani dari ASEAN Centre for Energy (ACE). Ia menekankan betapa pentingnya pembaruan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) tentang APG serta harmonisasi regulasi antarnegara anggota.
“Tanpa penyelarasan kebijakan dan kerangka teknis yang komprehensif, perdagangan listrik lintas batas tidak akan maksimal. Kita perlu membentuk mekanisme pasar dan kerjasama antarnegara yang lebih solid,” ujarnya.
Peluang dalam melakukan interkoneksi ketenaga listrikan
Lebih dari sekadar meningkatkan efisiensi energi, inisiatif interkoneksi ini juga membuka peluang ekonomi baru bagi kawasan. Thang Do, seorang peneliti dari Australian National University, menyoroti bahwa melalui APG, negara-negara ASEAN berpotensi menghemat biaya investasi yang signifikan dalam pembangunan pembangkit listrik dan fasilitas penyimpanan energi.
“Super Grid akan memungkinkan penyaluran listrik secara efisien antarnegara, menurunkan Levelized Cost of Electricity dalam jangka panjang,” ujarnya.
Bahkan, Thang memperkirakan ASEAN memiliki kapasitas teknis yang sangat besar untuk sepenuhnya mengandalkan energi bersih, dengan potensi tenaga surya mencapai 6.606 GW, tenaga angin 420 GW, serta penyimpanan hidro terpompa hingga 44.707 GWh.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa semangat swasembada energi yang masih kuat di beberapa negara anggota berpotensi menjadi kendala dalam mewujudkan integrasi energi regional ini.
“Indonesia, misalnya, sudah membuka peluang impor listrik, namun tetap memprioritaskan pembangkitan dalam negeri. Padahal, integrasi regional justru bisa memperkuat ketahanan energi yang berkelanjutan dan lebih murah,” tuturnya.
Tantangan politik lainnya juga menjadi perhatian Mirza Sadaqat Huda dari ISEAS–Yusof Ishak Institute. Ia menyoroti perlunya membangun narasi bersama yang kuat untuk mengatasi kekhawatiran terkait nasionalisme energi yang mungkin muncul di beberapa negara.
“ASEAN perlu komunikasi strategis yang merangkul publik, menjangkau akar rumput, dan mendorong solidaritas energi lintas negara,” katanya.
Sebagai solusi untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, Mirza mendorong pengembangan ASEAN Projects of Common Interest (Proyek Kepentingan Bersama ASEAN) untuk menjawab kendala teknis yang mungkin timbul, serta penerapan Sertifikat Energi Terbarukan (Renewable Energy Certificates/RECs) di tingkat regional.
Menghadapi tantangan energi dan iklim yang semakin nyata, ASEAN Power Grid bukan lagi sekadar pilihan tambahan, melainkan sebuah keharusan yang mendesak. Inilah saat yang tepat bagi negara-negara ASEAN untuk bersatu, menyinergikan potensi energi bersih yang dimiliki masing-masing, dan menjadikan listrik hijau sebagai pilar utama pembangunan kawasan yang berkelanjutan.