BUSINESS

Adu Strategi Padamkan Emisi

Perdagangan karbon di PLTU jadi tantangan baru PLN dan IPP.

Adu Strategi Padamkan EmisiIlustrasi perdagangan karbon. (Fortune Indonesia: Bedoel Achmad)
22 February 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Tak mudah menjadi Executive Vice President (EVP) Transisi Energi dan Keberlanjutan di PT PLN (Persero). Sebab padanya melekat seabrek tanggung jawab yang bakal menentukan masa depan perusahaan. Ini tertuang dalam Peraturan Direksi nomor 0054.P/Dir/2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja PLN—yang menandai perubahan perusahaan sebagai holding ketenagalistrikan.

Diteken pada 20 Oktober 2022, beleid tersebut mengamanatkan EVP Transisi dan Keberlanjutan menyusun strategi percepatan transisi energi, merumuskan dan memperbarui peta jalan net zero emissions, hingga mengelola ESG perusahaan. Bahkan, muncul tugas baru yang sebelumnya tidak pernah ada dalam senarai tugas pokok pejabat PLN: mempertimbangkan dampak carbon pricing terhadap biaya investasi dalam penyusunan strategi transisi energi. 

Dalam tiga tahun terakhir, carbon pricing memang banyak disorot pengusaha, bil khusus sektor energi. Instrumen pasar yang diatur pemerintah untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) itu bersandar pada Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.

Pada subsektor pembangkit listrik, salah satu bentuk implementasinya adalah perdagangan karbon di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Mandatori yang resmi dimulai Rabu (22/2) itu menyasar 99 PLTU—55 di antaranya milik PLN Group—dengan total kapasitas terpasang 33.596 MW.

PLN dan 41 perusahaan lain yang terlibat akan beroleh kuota emisi berupa persetujuan batas atas emisi bagi pelaku usaha (PTBAE PU) sebagai bekal perdagangan karbon. Jika selama setahun produksi emisi mereka lebih rendah (surplus) dari batas atas yang ditetapkan, sisanya bisa diperdagangkan sebagai kredit karbon ke PLTU lain yang produksi emisinya melebihi batas atas (defisit).

Sebagai perusahaan yang hampir 70 persen emisi langsungnya berasal dari pembangkit listrik, PLN tentu perlu "putar otak" agar instrumen nilai ekonomi karbon tak menghambat rencana transisi energinya. Musababnya jelas: ketika PTBAE PU yang ditetapkan pemerintah kian mengetat pada tahun-tahun mendatang, harga kredit karbon niscaya melambung dan bisa membebani keuangan PLN jika emisi gagal terpangkas.

Apalagi, dengan skenario business as usual, emisi yang dihasilkan pembangkit PLN bisa mencapai 433 juta ton CO2e per tahun pada 2030, meningkat dari 237 juta ton CO2e pada 2021. Sebagai gambaran, dalam Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023 yang dirilis Institute for Essential Services Reform (IESR), PLTU Paiton milik PT PLN Nusantara Power—subholding pembangkit PLN—diperkirakan mengalami defisit emisi karbon sekitar 1,3 juta ton CO2e pada 2021.

Dengan estimasi harga karbon US$2 per ton CO2e pada tahap awal, mereka hanya perlu melakukan pengimbangan (offset) dengan membeli kredit karbon senilai Rp39 miliar dengan pemilik pembangkit lainnya yang memiliki surplus emisi. Namun, bayangkan jika harga karbon meningkat hingga US$50 per ton—mereka harus merogoh Rp986,6 miliar untuk meng-offset emisi.

“Kami mulai menghitung, kira-kira berapa sih dengan batas atas emisi yang ditetapkan dalam Rapermen ESDM, berapa persetujuan emisi yang akan diberikan kepada masing-masing pembangkit, dan berapa dampaknya terhadap BPP [biaya pokok pembangkitan],” ungkap Kamia Handayani yang menjabat EVP Transisi Energi dan Keberlanjutan PLN, dalam webinar Carbon Footprint di Sektor Pembangkit Listrik pertengahan Juni 2022.

Nusantara Power amankan kredit karbon

Pun demikian, harga karbon yang tinggi juga dapat menjadi insentif bagi perusahaan jika mereka dapat menurunkan emisi pembangkit. Sebab, menurut Senior Researcher at Institute for Essential Services Reform (IESR), Raditya Wiranegara, uang hasil dagang karbon itu bisa dimanfaatkan untuk mendanai proyek-proyek energi baru terbarukan yang ditargetkan bertambah 20,9 GW pada 2030. 

"Harapannya dengan dana yang terkumpul dari mekanisme perdagangan ini, pengembangan EBT bisa lebih masif ke depannya. Dengan biaya pembangkitan yang akan semakin turun ke depannya, tentunya ini dapat mencegah kenaikan harga listrik maupun beban subsidi ke anggaran negara," ujarnya saat dihubungi Fortune Indonesia, Senin (20/2).

Dirut PT Nusantara Power, Rully Firmansyah, mengafirmasi pendapatan tersebut. Ia bilang, pertimbangan carbon pricing kini juga telah masuk dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP). Dengan cara tersebut, perusahaan berharap dapat mengerek rating pengelolaan ESG (enviromental, social and governance) dan meningkatkan peluang investasi pada pembangkit EBT.

"Kami akan bergerak di perbaikan ESG untuk meningkatkan rating PLN grup jadi saat ini RKAP kami harus sudah ter-address untuk ESG-nya serta new opportunities untuk investment di EBT. Karena kita harapkan dengan adanya trading ini, saat ini biaya investasi EBT bisa ditanggung PLTU yang biaya operasionalnya lebih murah," kata pria yang pernah menjabat General Manager Unit Pembangkitan Jawa-Bali tersebut.

Tahun ini, ada 11 PLTU milik Nusantara Power yang terlibat mandatori perdagangan karbon. Dari jumlah tersebut, Rully memperkirakan enam pembangkit akan mengalami defisit dan harus melakukan offset pada akhir tahun.

Pembangkit dimaksud, yakni PLTU Paiton (unit 1, 2 dan 3), PLTU Rembang (unit 1,2 dan 3), PLTU Tanjung Awar-Awar (unit 1,2 dan 3), PLTU Indramayu (unit 1,2 dan 3), PLTU Pacitan (unit 1 dan 2), serta PLTU Tarahan (unit 1).

Meski begitu, Nusantara Power telah menyiapkan sejumlah strategi. Salah satunya, melakukan offset dari PLTU lainw yang diperkirakan mengalami surplus emisi.

"Kami punya potensi beberapa pembangkit yang surplus dan beberapa pembangkit yang defisit emisi di 2023 ini yang harus kami siapkan juga mekanismenya, mana yang offset mana yang trading mana yang VCS," ujarnya.

Strategi lainnya adalah pengimbangan emisi melalui penggunaan cadangan kredit karbon yang dimiliki perusahaan, baik berupa sertifikat pengurangan emisi (SPE) yang terdaftar dalam sistem registrasi nasional (SRN), maupun aksi mitigasi perubahan iklim lain yang terverifikasi melalui mekanisme Verified Carbon System (VCS).

Kini, Nusantara Power memiliki cadangan SPE 1,2 juta ton CO2e dari proyek PLTGU Gas baru di Blok 3 Muara Karang dan 363,96 ribu ton CO2e dalam skema VCS dari pengoperasian PLTA Sipansihaporas dan PLTA Renun.

"Jadi, di 2023 ini kami punya potensi SPE sebesar 1,5 juta ton CO2e yang bisa diperdagangkan," jelasnya. 

Kesiapan Rully menghadapi era perdagangan karbon juga didasari oleh pengalaman perusahaan mengikuti uji coba pada 2021. Pada periode tersebut, Nusantara Power menjual kredit karbon hingga 2.000 ton CO2e, serta membeli hingga 4.300 ton CO2e dalam rangka offsetting

Perusahaan juga melakukan aksi mitigasi perubahan iklim dari proyek VCS dengan total kredit karbon hingga 828 ton CO2e. Harga rata-rata untuk kredit karbon dalam aktivitas transaksi tersebut mencapai Rp48.000 per ton CO2e. "Untuk carbon management, PT PLN Nusantara Power maupun Indonesia Power harusnya sudah tidak ada alasan lagi untuk Gaspol mengenai pengaturan karbon," tutur Rully.

Pensiun dini PLTU

ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

Related Topics