"Menyimpan 7 dari 10", Kisah di Balik Kripik Balado Christine Hakim

- Christine Hakim, aktris senior, memulai usaha keripik balado sejak 1985 dengan nama yang sama namun tanpa niat meniru.
- Berbekal resep warisan keluarga dan keberanian dalam pemasaran, ia berhasil membesarkan usaha dari kios kecil hingga memiliki lebih dari 100 karyawan.
- Dengan fokus pada kualitas, inovasi produk, dan digitalisasi penjualan, omzetnya mencapai Rp400 juta per bulan dan bisa dua kali lipat saat musim Lebaran.
Jakarta, FORTUNE - Padi dikabek jo daunnyo, batang ditungkek jo dahannyo: Padi diikat dengan daunnya, batang/pohon ditopang dengan dahannya. Pepatah lawas ini menggambarkan ruh berdagang orang Minang yang lekat dengan kesabaran, keteguhan, dan pintar mengambil kebijakan yang akan membuat usaha tetap produktif. Itulah yang diterapkan Christine Hakim, perempuan kelahiran Padang terhadap usaha keripik balado yang dirintis sejak 1985.
Banyak yang mengira bahwa jenama kuliner Kripik Balado Christine Hakim ini milik aktris senior yang berkiprah di dunia film dan meraih sederet Piala Citra. Namanya memang sama, tapi nama Christine Hakim yang ini tersohor berkat panganan legendaris berbahan ubi kayu yang diiris tipis-tipis, digoreng hingga renyah, lalu dilapisi dengan bumbu balado pedas dan manis hingga menggoyang lidah penikmatnya.
Di sela-sela kesibukan mengurus toko oleh-oleh, kepada Fortune Indonesia, Christine Hakim berbagi kisah unik di balik namanya. Bukan terinspirasi dari sang aktris, pun tak ada niatan meniru. Perempuan kelahiran 1956 ini terlahir dengan nama Loei Tjeng Kim. “Loei artinya petir, Tjeng artinya seribu, dan Kim artinya emas. Dulu keluarga saya merantau ke Padang dari Cina,” ujarnya kepada Fortune Indonesia (13/5/2024).
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 326/PWI Tahun 1983 yang mewajibkan warga keturunan Cina yang berada di Indonesia untuk mengganti nama. Pada 1990, ketika usianya 34 tahun, barulah namanya berganti menjadi Christine Hakim dan disahkan dengan Catatan Sipil Pemerintahan Kotamadya Dati II Padang pada tanggal 24 Maret 1990.
“Ndak ada niatan meniru nama artis. Waktu di pengadilan ditanya mau ganti nama apa. Saya dan orang tua belum tahu, pengadilan bilang sudah Christine Hakim saja. Kebetulan juga tahun kelahirannya sama,” kenangnya.
Nama itu justru membawa keberuntungan dalam usaha keripik balado. Christine mengenang awal mula perjalanan bisnisnya yang dirintisnya dari usaha kecil-kecilan pada 1985 bersama sang kakak.
"Orang tua saya mengajak kami semuanya bekerja. Karena sekolah saya tidak tamat SD, jadi sesuatu harus dilakukan. Melihat keripik balado yang dibuat orang di pondok, saya melihat potensi dengan risiko kecil. Kami mencoba membuatnya," ujar bungsu dari enam bersaudara ini.
Bersama kakaknya, Christine mulai memproduksi keripik balado. Ia mengambil peran sebagai pemasar utama. Keberanian untuk tampil dan mempromosikan produknya menjadi kunci pembuka jalan. Ia pun mulai berkeliling dengan mengendarai sepeda motor motor dan mengantarkan keripik ke pelanggan.
Berbekal resep keripik balado yang diwariskan keluarganya dan kepiawaian meracik bumbu, ia kemudian memulai usaha camilan dengan namanya sendiri. “Tahun 1990 saat usia 34 tahun, saya bertemu jodoh dan menikah. Sejak itulah saya mulai berdiri sendiri menggunakan merek Kripik Balado Christine Hakim,” katanya.
Dengan modal awal sebesar Rp150.000, ia membeli dua karung singkong, minyak, beserta bumbu lain seperti cabai merah dan gula pasir, lantas bisa menghasilkan 300 kilogram keripik. Keberaniannya tidak lepas dari keyakinan bahwa bahan baku yang kering dan tahan lama seperti singkong memberikan risiko yang kecil. "Enggak ada ruginya kok, karena bahannya yang kering. Mentahan. Artinya, masak hari ini, besok masih bisa dijual,” katanya.
Di awal usahanya ia dibantu dua anak dari kampung setempat untuk urusan dapur, lalu pelan-pelan bertambah dan mengelola toko kecil hingga kini memiliki lebih dari 100 karyawan.
Dalam perjalanan ia berimprovisasi untuk menemukan cara agar keripik balado bisa tahan disimpan dua bulan. Membuat produk yang sempurna membutuhkan proses yang panjang, bahkan hingga sepuluh tahun.
Jalan yang ditempuhnya tidak selalu mulus. "Selama sepuluh tahun, itu ada gagalnya. Saya mencoba terus baru dapat ukuran yang pas,” ujarnya. Maka, ia pun heran saat ada pengguna media sosial yang secara blak-blakan meminta resepnya, “Tidak bisa tanya begitu langsung jadi. Harus mencoba dulu.”
Menyoal bahan baku, ia hanya menggunakan singkong asli dari daerah Sumatra Barat, yang menurutnya, lebih gurih dan kering setelah digoreng. Demikian pula dengan penggunaan minyak kelapa yang masih dipertahankan hingga kini.
“Bahan lokal semua. Kita menghidupkan petani, pedagang pasar, penjual cabai, minyak, gula. Kami menghidupkan petani, menghidupkan semua, pedagang pasar, yang jual cabai, minyak, gula, asam, dan bahan lainnya,” ujarnya.
Berani melangkah
Pada awalnya, keripik balado buatannya dijual di pasar tradisional dalam kemasan kecil seharga Rp100. Ia kemudian merambah dengan menitipkan di warung-warung kecil. Setelah semakin banyak peminat, ia lalu mencoba membuka kios sendiri di dalam gang sempit.
Peluang lebih besar datang saat musim Lebaran tiba. "Waktu itu cuma jual di pasar, di toko. Rupanya waktu Lebaran, dicari orang. Baru kami tahu, oh ini bisa dibuat oleh-oleh,” kenangnya.
Saat Lebaran, banyak perantau dari Minang yang pulang kampung dan mencari oleh-oleh khas untuk dibawa kembali ke tempat rantau mereka. "Mereka cari katanya untuk dibagikan ke tetangga, bahkan ada yang beli untuk satu RT. Di situlah saya semangat. Dan baru saya tahu, oh ini punya potensi besar,” katanya.
Dari buah tangan para perantau itu, Kripik Balado Christine Hakim menjadi punya penggemar baru. Medio 1992, orderan dari Medan dan Jakarta mulai berdatangan.
Ketika mendapatkan order pertama dari luar kota, ia masih mengurus semua sendiri, mulai dari pendataan barang, alamat hingga pengiriman. Pengalaman kurang baik pun pernah dialaminya. “Dulu belum ada kantor dan belum ada yang membantu. Urusan uang masuk juga, kadang saya takut lupa. Pernah saya kirim barangnya dulu, eh ternyata setelah dikirim enggak dibayar,” ujarnya.
Seiring bertambahnya permintaan menjadi cambuk untuk memperluas usaha. Pada 1999, Christine membuka toko tak jauh dari toko awalnya. Toko keripik balado dan oleh-oleh Sumatra Barat yang berlokasi di Jalan Nipah No. 38, Padang, resmi dibuka.
“Modalnya dari tabungan, sejak 1994 saya menabung dolar. Pas krisis tahun 1999, dolarnya meledak (naik) lalu saya jual dan langsung dibelikan tanah. Satu tahun membangun, begitu siap langsung pindah,” katanya.
Toko ini diberi nama “KRIPIK BALADO CHRISTINE HAKIM”, sebuah nama yang kini menjadi ikon oleh-oleh khas Sumatra Barat. Pembukaan toko ini bukan hanya sekadar langkah bisnis, tetapi juga perwujudan dari impiannya untuk memajukan produk lokal Sumatra Barat ke tingkat nasional.
Di saat yang bersamaan, ia berhasil menjadikan tokonya sebagai destinasi wajib bagi siapa pun yang berkunjung ke Padang. Baik wisatawan lokal maupun mancanegara rela mengantre, mencicipi, dan membeli oleh-oleh dari toko legendaris ini. Toko ini memang diuntungkan berkat lokasinya yang dekat dan searah dengan dengan Bandar Udara Internasional Minangkabau.
"Dengan membuka toko ini, saya ingin semua orang bisa merasakan cita rasa khas Padang. Ini bukan hanya bisnis, tapi juga tentang memperkenalkan budaya kuliner kita," kata Christine.
Sukses membesarkan toko oleh-oleh tak lantas membuatnya ingin membuka cabang di lokasi lain. Christine juga tak tertarik kala produknya dilirik jaringan peritel besar karena menurutnya itu akan membuat eksklusivitas sebagai ikon Sumatra Barat menjadi hilang.
Ia memilih untuk fokus mempertahankan kualitas, sembari mengembangkan varian produk, serta berinovasi pada kemasan. “Kini ada varian rasa balado, udang, durian, dan keju. Semua bebas dari penggunaan bahan pewarna. Ada juga singkong cabe ijo, teri, asin pedas. Ada juga opak balado, talas balado, pisang balado. Pokoknya dua itu. Singkong dan cabenya bisa bikin apa saja. Banyak variasi ,” katanya.
Dari sisi kemasan, ia juga membuat berbagai ukuran agar lebih variatif. Menariknya, kala ia mencoba memperbarui dengan kemasan modern yang bisa dibuka-tutup otomatis, pelanggan justru lebih tertarik membeli kemasan lama. Kini produknya dijual dengan kemasan berukuran variasi, ada yang kecil hingga besar dengan kisaran harga mulai dari Rp30.000.
Ragam varian produk, menurutnya, dapat mendongkrak omzet penjualan di toko. Ia juga terus belajar, mencari peluang serta melakukan terobosan seperti membuat produk rendang basah, samba lado sampai berbagai macam bumbu masakan praktis yang tadinya diragukan akan ketahanannya. Dengan sedikit sentuhan teknik pengemasan, jadilah produk yang layak dijual di toko oleh-oleh.
Menurutnya, per bulan omzetnya bisa mencapai kisaran Rp400 juta. Jika musim Lebaran tiba, omzetnya bisa mencapai dua kali lipat. Itu semua sudah mencakup penjualan di toko hingga e-commerce. Untuk memenuhi permintaan pelanggan keripik balado di musim Lebaran, dapurnya bisa mengolah hingga 30 karung. “Satu karung itu sekitar 40 kilogram singkong. Kalau sedang sepi bisa 15 karung. Tapi kami biasanya sudah stok untuk musim Lebaran dan liburan,” ujarnya.
Menurutnya, dari tahun ke tahun omzet bertumbuh cukup baik meskipun saat pandemi sempat merosot. Ia menceritakan pada 2019 ada bagasi yang harus dibayar untuk pengiriman. Tetapi pada 2020 omzet menurun drastis sehingga dirinya harus berstrategi agar tidak rugi lantaran order sepi dan toko oleh-oleh sempat tutup tiga bulan.
“Saya punya simpanan, jadi tidak terpengaruh. Tidak ada pegawai yang diberhentikan. Ada uang cadangan, mana tahu ada uang keluar yang tidak terduga. Siapa sangka pandemi bisa terjadi? Semua itu juga tidak terbayangkan,” katanya.
Ia juga tak menyangka pandemi justru membuka peluang baru untuk melangkah lebih maju lewat digitalisasi penjualan di kanal e-commerce. Ia bahkan mempelajari bagaimana membuat konten dan memasarkan produk lewat Instagram, TikTok, hingga YouTube.
Diversifikasi bisnis
Di tengah persaingan produk keripik balado dan toko oleh-oleh di Padang, ia sama sekali tak khawatir. Ia yakin ciri khas dan produk autentik tetap menjadi keunggulan.
Kini, di tokonya, Christine tidak hanya menjual keripik balado tapi juga berbagai produk makanan khas lain dari Smatera Barat, dari cemilan seperti opak, ganepo, karak kaliang; aneka lauk-pauk seperti dendeng, rendang hingga aneka bumbu masakan. Demi mengutamakan kualitas ia sangat selektif dalam menerima produk yang akan dijual di toko.
Ia juga merangkul 300 usaha mikro, kecil dan menengah (UKM) serta membina usaha tersebut. Kini, ada lebih dari 700 produk yang dijual dan menjadikan toko oleh-olehnya tak hanya populer tapi juga terlengkap di Kota Padang.
Sukses di sektor kuliner, Christine mencoba peruntungan di sektor hiburan dengan mendirikan wahana Christine Hakim Idea Park (CHIP) pada 2015. Lokasinya masih satu area dengan toko oleh-oleh. Walaupun sempat tutup pada 2021 akibat pandemi COVID-19, ia membuka kembali CHIP pada 2022 dengan konsep dan wahana baru, seperti ICELAND Synthetic Ice Skating, 9D VR, dan trampolin pertama di Sumatra Barat.
“Saya ingin menghadirkan sesuatu yang baru dan berbeda di Sumatra Barat karena merasa di sini masih minim hiburan. Semua yang ada di Jakarta ingin dihadirkan di sini, mulai dari ice skating, waterpark, dan wahana lainnya yang belum ada,” ujarnya. “Belum ada kolam renang di Sumatra Barat yang besar dan indoor, yang bisa main satu hari, tidak takut gosong. Kalau di tempat saya bisa seharian, sampai malam, pulangnya bisa beli oleh-oleh.”
Ia juga mencoba peruntungan di sektor fesyen meskipun belum terlalu berkembang. Christine mengatakan, kesuksesan yang diraih juga berkat keluarga besar dan suami yang membantu di balik bisnis ini, serta para karyawannya yang tidak pantang menyerah.
Di atas segala pencapaiannya, ia memegang prinsip kunci yang selalu diajarkan orang tuanya agar bisnisnya terus berkembang. Ia bahkan tetap hidup sederhana dan tinggal di ruko. “Saya selalu menabung. Saya cari 10, saya simpan 7, tiga dipakai. Kalau orang biasanya cari 10, pakainya 12, jadi utang. Ibaratnya dari 7 simpanan saya bisa jadi berkembang,” ujarnya.
Dia juga menambahkan, “Jangan berutang, itulah prinsip saya. Keluarga menanamkan pada saya, tidak boleh berutang agar terus berkembang tanpa ada beban.”
Dalam lima tahun mendatang Christine pun bercita-cita membuka hotel untuk melengkapi kerajaan bisnisnya. Pun ke depannya, ia ingin anak-anak hingga cucunya mewarisi bisnis ini dan membuatnya lebih maju dengan go internasional, mendatangkan investor, hingga memiliki pabrik lebih luas serta menyerap banyak tenaga kerja di Kota Padang.