Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Nasib Mitra Pos Indonesia: Upah Rendah, Tanpa THR & Kontrak Tak Jelas

Ilustrasi mitra PT Pos Indonesia
Ilustrasi mitra PT Pos Indonesia (posindonesia.co.id)
Intinya sih...
  • KSPI dan Partai Buruh menyoroti praktik hubungan kerja eksploitatif oleh PT Pos Indonesia terhadap 15 ribu pekerja mitra pos, termasuk jam kerja tak manusiawi dan ketidakpastian kontrak.
  • Upah para mitra dinilai jauh dari layak, dibayar per paket tanpa tunjangan hari raya, THR, atau upah lembur. KSPI akan minta audiensi dengan Menteri BUMN untuk perbaiki sistem hubungan kerja.
  • Pekerja mitra tak dapatkan hak cuti sama sekali, tidak transparan dalam pembayaran, dan bisa didenda Rp100.000 jika terjadi kesalahan pengiriman. Direktur Utama PT Pos Indonesia berjanji mencari solusi bagi keluhan mitra.

Jakarta, FORTUNE – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh menyoroti praktik hubungan kerja eksploitatif oleh PT Pos Indonesia (Persero) terhadap sekitar 15 ribu pekerja mitra. Presiden KSPI dan Partai Buruh, Said Iqbal menegaskan bahwa sistem kemitraan yang diberlakukan bukan hanya melanggar hukum, tetapi bentuk perbudakan di era modern.

KSPI dan Partai Buruh menemukan adanya jam kerja yang tidak manusiawi. Contohnya, mitra PT Pos Indonesia, yakni O-Ranger Loket harus bekerja minimal 200 jam setiap bulan. Jika target tidak tercapai, mereka dikenakan denda Rp100 per menit.

Bahkan, mitra PT Pos Indonesia lainnya, yaitu O-Ranger Antaran kerap bekerja lebih dari 11 jam sehari tanpa upah lembur dan tetap dipaksa masuk di hari libur. “Ini bukan lagi kemitraan, ini adalah perbudakan modern,” ungkap Said dalam keterangan tertulis yang diterima Fortune Indonesia, Senin (24/3).

Selain itu, KSPI menemukan banyak pekerja mitra yang tidak memiliki kepastian kerja. Kontrak kerja sering tidak diperpanjang secara jelas, misalnya banyak yang terakhir kali menandatangani perjanjian kerja pada 2019 atau 2024 tanpa ada kejelasan untuk tahun berikutnya.

“Mereka tidak bekerja lewat aplikasi. Mereka bekerja langsung di kantor PT Pos wilayah setempat, memakai seragam resmi, mengerjakan pekerjaan yang sama dengan karyawan tetap PT Pos,” tutur Said.

“Ini jelas hubungan kerja langsung. Tapi status mereka disebut mitra, tanpa hak-hak dasar sebagai pekerja. Ini pelanggaran yang orisinal, dan sangat serius,” tegas dia.

Menurut Said, hubungan kerja antara mitra pos dan PT Pos Indonesia telah melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan bahwa jika ada perintah kerja, upah, dan pengawasan langsung, maka itu adalah hubungan kerja formal.

Berapa upah mitra PT Pos Indonesia?

Ilustrasi mitra driver PT Pos Indonesia
Ilustrasi mitra driver PT Pos Indonesia (posindonesia.co.id)

Sementara itu, upah para mitra dari PT Pos Indonesia dinilai jauh dari kata layak. Mitra yang bekerja di loket—bersebelahan dengan karyawan tetap—dibayar per paket, bukan berdasarkan upah minimum.

“Sebelah kanan, karyawan tetap PT Pos dengan gaji sesuai UMK. Sebelah kiri, mitra pos yang dibayar per paket,” ujar Said.

Dia juga menyebut bahwa banyak pekerja mitra PT Pos Indonesia yang memperoleh upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) atau UMK, sementara BUMN tersebut mendapatkan keuntungan dari sistem bagi hasil yang timpang dan lebih menguntungkan korporasi.

Lalu, Said pun menyoroti tidak adanya pemberian tunjangan hari raya (THR) kepada mitra pos. “THR itu hak pekerja. Tapi banyak mitra tidak pernah menerima THR sama sekali. Bahkan ada yang hanya menerima Rp50.000. Ini bukan hanya pelanggaran, ini penghinaan terhadap martabat buruh,” kata dia.

KSPI minta audiensi dengan Menteri BUMN

Oleh karena itu, KSPI akan segera meminta audiensi dengan Menteri BUMN Erick Thohir untuk memperbaiki sistem hubungan kerja di PT Pos Indonesia. Tidak boleh ada lagi pekerja yang diberi status “mitra”, padahal bekerja seperti karyawan tetap.

KSPI menuntut agar para mitra diangkat dengan status yang jelas, baik kontrak maupun tetap, dengan upah sesuai minimum, jam kerja maksimal 8 jam per hari atau 40 jam per minggu, upah lembur bila melebihi jam kerja, dan tak ada potongan upah sewenang-wenang.

“Kami akan melaporkan hal ini langsung ke Presiden Prabowo Subianto bila tidak ada langkah konkret dari Kementerian BUMN. Dan pasca Lebaran, KSPI akan memimpin pemogokan nasional besar-besaran terhadap PT Pos Indonesia, melibatkan puluhan ribu pekerja mitra pos di seluruh Indonesia,” tegas Said.

Mitra Pos Indonesia tak dapat hak cuti

Ilustrasi karyawan PT Pos Indonesia
Ilustrasi karyawan PT Pos Indonesia (posindonesia.co.id)

Presiden Federasi Serikat Pekerja Aspek Indonesia, Abdul Gofur menambahkan bahwa pekerja mitra Pos Indonesia tidak mendapatkan hak cuti sama sekali.

“Tidak ada cuti sakit, tidak ada cuti haid, apalagi cuti melahirkan. Bahkan ada pekerja perempuan yang dipecat hanya karena mengajukan cuti melahirkan,” ungkap dia.

Gofur pun menyoroti skema pembayaran yang tidak transparan. “Pekerja tidak tahu apakah pembayaran yang mereka terima sesuai jumlah kiriman. Bahkan ada yang tidak menerima pembayaran sama sekali, tanpa penjelasan,” tutur dia.

“Ditambah lagi, jika ada kesalahan pengiriman, pekerja bisa didenda Rp100.000, padahal fee per paket hanya sekitar Rp2.350,” pungkas Gofur.

Dirut PT Pos Indonesia buka suara

Ilustrasi karyawan PT Pos Indonesia
Ilustrasi karyawan PT Pos Indonesia (posindonesia.co.id)

Di samping itu, Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero) Faizal Rochmad Djoemadi sempat berjanji akan mencari solusi terbaik bagi para mitra perusahaan soal keluhan mitranya terkait jam kerja yang tidak manusiawi hingga pengupahan minim. Hal ini bertujuan agar keluhan-keluhan dari para mitra PT Pos Indonesia dapat berkurang.

“Kami akan sampaikan secara tertulis pimpinan, jadi in prinsip, supaya nanti jelas dan tentu saja seluruh keluhan yang disampaikan anggota dewan terutama tentang hal kemitraan, ini sangat kami perhatikan dan kita akan carikan solusi terbaik agar keluhan-keluhan tersebut berkurang,” kata Faizal dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Senin (10/2).

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yogama Wisnu Oktyandito
EditorYogama Wisnu Oktyandito
Follow Us