Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Perizinan Berbelit, Siklus Investasi RI Kalah dengan Vietnam

tambang batubara di indonesia
tambang batubara di indonesia
Intinya sih...
  • Proses perizinan investasi di Indonesia memakan waktu 4-5 tahun, sementara Vietnam hanya 2 tahun.
  • BKPM mendorong penerapan skema fiktif positif untuk mengatasi hambatan perizinan.
  • Kebijakan fiskal dan inkonsistensi regulasi juga menjadi hambatan utama investasi di Indonesia.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Kemudahan berinvestasi di Indonesia masih menghadapi pekerjaan rumah besar, terutama terkait proses perizinan yang berbelit. Kondisi ini menyebabkan iklim investasi Indonesia kalah saing dengn negera tetangganya seperti Vietnam.

Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, mengatakan siklus investasi di Tanah Air rata-rata memakan waktu 4-5 tahun, dengan sekitar dua tahun di antaranya habis hanya untuk mengurus izin.

“Mengurus perizinan saja [memakan waktu] kurang lebih sekitar dua tahunan. Jadi dari investor masuk, membentuk perusahaan PMA, hingga mulai komersial rata-rata butuh 4-5 tahun,” kata Todotua dalam Indonesia Green Mineral Investment Forum 2025 di Kementerian Hilirisasi dan Investasi, Jakarta, Kamis (2/10).

Kondisi ini sangat kontras dengan Vietnam yang memiliki siklus investasi lebih ringkas, yakni hanya sekitar dua tahun.

“Vietnam hari ini sudah masuk di level dua tahunan. Kapan dia mau bangun, langsung bangun, tinggal masuk tahap konstruksi. Ini PR besar bagi kita,” tuturnya.

Untuk mengatasi hambatan tersebut, BKPM tengah mendorong penerapan skema fiktif positif. Dengan skema ini, permohonan izin yang sudah memenuhi syarat otomatis dianggap disetujui jika kementerian teknis tidak memberikan keputusan dalam batas waktu tertentu.

“Contoh, izin hotel 28 hari sudah bisa bangun. Sementara persyaratan dasar seperti izin lokasi dan AMDAL tetap dipenuhi, hanya saja dibuat pascabayar (postpaid),” kata Todotua.

Beban fiskal melemahkan daya saing

Selain perizinan, kebijakan fiskal juga menjadi sorotan. Todotua mencontohkan produk solder berbahan baku timah. Meski Indonesia memiliki bahan mentah dan fasilitas peleburan, biaya produksi solder di dalam negeri justru lebih tinggi dibandingkan Malaysia.

“Ini jadi lucu. Ingotnya dari kita, dibawa ke Malaysia diproses jadi solder, lalu masuk lagi ke Indonesia dengan harga lebih murah dibandingkan produksi lokal. Setelah dimitigasi, ada masalah pada strategi fiskal kita. Setiap lapisan kena pajak, sehingga biaya menumpuk,” ungkapnya.

Menurutnya, percepatan izin dan reformasi fiskal mutlak dilakukan agar Indonesia bisa bersaing dalam merebut investasi global.

Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Organisasi APINDO, Muliawan Margadana, menilai hambatan utama investasi sektor mineral dan batu bara di Indonesia bukan hanya soal lamanya proses perizinan, tetapi juga inkonsistensi regulasi.

“Dalam konteks undangan itu cukup menarik, namun dalam implementasi seringkali hambatan-hambatan itu terjadi. Katakanlah masih adanya dirasakan ketidak konsistenan di dalam regulasi,” ujarnya.

Muliawan juga menyoroti munculnya tambahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di tengah pelemahan pemasukan negara. Hal ini, menurutnya, membuat pola bisnis perusahaan harus terus menyesuaikan diri.

Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya akses pembiayaan internasional untuk mendukung investasi, khususnya di sektor energi hijau. “Green economy ini tidak murah. Ada faktor pembiayaan yang besar dan perlu ada kerjasama yang dibuka lebar-lebar dengan akses-akses finance secara internasional,” ujarnya.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ekarina .
EditorEkarina .
Follow Us

Latest in Business

See More

Emiten CGV Indonesia Baru Raih 43% Pendapatan 2025, Ini Strateginya

02 Okt 2025, 15:28 WIBBusiness