Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Unilever Hadapi Tantangan di Indonesia, Peringatan Bagi CEO Baru

Ilustrasi kantor PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). (Dok. Unilever Indonesia)

Jakarta, FORTUNE - Fernando Fernandez, yang resmi menjabat sebagai CEO Unilever Plc pada Sabtu, menghadapi tantangan besar di pasar Indonesia. Veteran dengan pengalaman 37 tahun ini harus mengerahkan seluruh keahliannya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi perusahaan di negara ini.

Di supermarket Aeon Jakarta, deterjen Rinso dari Unilever dihargai Rp75.500 (US$4,60), sementara SoKlin dari Wings Group hanya Rp29.800 setelah diskon. Warung-warung lebih memilih Kecap Sedaap dari Wings, yang lebih murah dibandingkan Kecap Bango milik Unilever. Selain itu, banyak toko kelontong kecil tidak menyetok produk Unilever karena perusahaan ini tidak menerima pesanan dalam jumlah kecil.

Konsumen Indonesia semakin beralih dari supermarket ke minimarket dan toko kelontong akibat urbanisasi dan inflasi. Hal ini membuat Unilever, produsen Pepsodent dan Vaseline, kesulitan menyesuaikan strategi. Akibatnya, laba bersih perusahaan di Indonesia anjlok 30 persen pada 2024, menjadi penurunan tahunan keenam berturut-turut.

"Strategi pesaing lokal sederhana: mereka hanya menurunkan harga," kata Willy Goutama, analis ekuitas di PT Maybank Sekuritas Indonesia, Willy menambahkan, perusahaan rela beroperasi dengan kerugian untuk mendapatkan pangsa pasar; sementara Unilever, seperti banyak perusahaan multinasional, lebih mengutamakan profitabilitas. "Sering kali, Unilever terlambat merespons," katanya, mengutip Fortune.com, Senin (3/3).

Fernandez yang menggantikan Hein Schumacher setelah pemecatan mendadak minggu ini, harus segera memperbaiki operasi Unilever di Indonesia. Dengan penjualan tahunan sekitar €2 miliar, Indonesia menyumbang lebih dari 3 persen dari total penjualan global Unilever. Namun, karena permasalahan ini juga terjadi di pasar lain, Indonesia menjadi studi kasus bagi Unilever di negara berkembang yang menyumbang 58 persen dari total pendapatan.

Perlu mengubah strategi

Pasar negara berkembang menjadi andalan perusahaan multinasional seperti Unilever, Nestlé, dan Procter & Gamble. Namun, semakin banyak pesaing lokal yang mengambil alih pangsa pasar. Studi Boston Consulting Group menunjukkan bahwa merek-merek lokal kini mendominasi pasar makanan dan minuman di Indonesia.

Strategi perusahaan multinasional yang berhasil selama puluhan tahun kini mulai runtuh. Perusahaan lokal semakin berkembang, sementara ketidakpastian geopolitik dan ekonomi mendorong preferensi terhadap produk dalam negeri. "Dulu, merek asing dianggap lebih unggul dan premium. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, efek 'halo' itu memudar, sementara merek lokal semakin kompetitif," menurut Bain & Co.

Unilever yang masuk ke Indonesia sejak era kolonial Belanda, kini menghadapi penurunan pangsa pasar. Antara 2016 dan 2023, Unilever kehilangan 3-4 poin persentase di kategori produk rumah tangga, 11 poin di produk perawatan pribadi, dan 15 poin di es krim, menurut Euromonitor International.

Fernandez sadar akan tantangan ini. "Ada beberapa masalah serius yang sudah berlangsung lama, terkait kurangnya diferensiasi portofolio kami dibandingkan pesaing lokal yang sangat kuat dan cenderung menawarkan harga lebih murah," katanya dalam pertemuan pasar modal Unilever pada November. "Kami akan memperbaiki apa pun yang perlu diperbaiki."

Analis Citigroup, Lakshmi Rowter, menyebut Fernandez memiliki peluang untuk membalikkan keadaan dengan pendekatan lebih lokal dibandingkan strategi top-down saat ini. Sebagai mantan kepala divisi Amerika Latin Unilever, ia telah sukses di pasar seperti Brasil dan Filipina.

Namun, dengan mendekatnya bulan Ramadan, pesaing lokal meningkatkan promosi besar-besaran kepada distributor, yang berpotensi memperburuk penurunan penjualan Unilever di Indonesia.

Secara global, industri produk konsumsi tumbuh 7,5 persen pada 2024 menjadi US$7,5 triliun, dengan negara berkembang sebagai motor pertumbuhan. Namun, Unilever hanya mencatat kenaikan penjualan 4,2 persen, sementara operasinya di Indonesia, India, dan Tiongkok masih menghadapi kendala.

Biaya dapat ditekan dan operasi disederhanakan, tetapi pada akhirnya, pertumbuhan harus datang dari peningkatan penjualan, terutama di pasar negara berkembang.

Di tengah inflasi global, konsumen di negara maju mulai beralih ke merek produk supermarket yang lebih murah. Sementara itu, perusahaan lokal seperti Wings menjadi pesaing tangguh di pasar berkembang.

Wings, yang didirikan di Surabaya pada 1948, berkembang pesat dari bisnis rumahan menjadi produsen barang konsumsi besar. Perusahaan ini kini bersaing langsung dengan Unilever dengan harga produk yang lebih terjangkau.

Perusahaan multinasional mengklaim bahwa investasi besar dalam inovasi dan skala ekonomi akan memberi keunggulan jangka panjang. Namun, pangsa pasar yang hilang sulit direbut kembali. Boikot produk Barat akibat konflik Gaza juga memperburuk keadaan. Nestlé melaporkan kehilangan setengah poin pertumbuhan penjualan akibat boikot, dan Unilever turut terdampak.

"Pemulihan Unilever akan lambat jika mereka tidak mengatasi masalah harga dan distribusi," kata Goutama dari Maybank.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
pingit aria mutiara fajrin
Editorpingit aria mutiara fajrin
Follow Us