Ray Dalio: Bank Sentral Sulit Adopsi Bitcoin, Emas Tetap Andalan

Jakarta, FORTUNE - Miliarder Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates yang juga investor makro global ternama, membeberkan alasan mengapa bank sentral di berbagai negara nyaris mustahil menjadikan Bitcoin (BTC) sebagai aset cadangan utama. Meski mengaku memiliki sedikit kepemilikan Bitcoin, Dalio menegaskan bahwa emas tetap menjadi pilihan utamanya sebagai store of value yang dinilai lebih kokoh, terutama bagi institusi keuangan negara.
Dalio menekankan bahwa sikap hati-hatinya terhadap Bitcoin tidak serta-merta berarti ia percaya pada mata uang fiat. Melansir The Street, dalam perbincangan di siniar WTF bersama Nikhil Kamath yang dirilis pada 20 Desember 2025, Dalio berulang kali menyampaikan pandangan pesimistis terhadap mata uang yang diterbitkan pemerintah, dengan menyoroti masalah utang kronis dan kebijakan pencetakan uang yang terus berlangsung, yang menurutnya akan menggerus nilai mata uang dalam jangka panjang.
Cara pandang inilah yang menjelaskan mengapa Dalio tetap menyimpan sebagian kecil Bitcoin, meskipun porsinya sangat terbatas dalam portofolionya. “Saya punya sedikit Bitcoin. Tetapi bagi saya, itu tidak semenarik emas,” katanya.
Dalio menilai, dari sisi desain dan struktur risiko, Bitcoin sulit diterima bank sentral sebagai aset cadangan, meskipun memiliki pasokan terbatas. Pertama adalah soal kontrol dan transparansi. Ia menyoroti bahwa transaksi Bitcoin tercatat di blockchain publik dan dapat dilacak. “Pemerintah dapat memantau transaksi apa saja. Dan pemerintah dapat mengganggu transaksi tersebut,” jelas Dalio.
“Emas adalah satu-satunya aset yang bisa Anda miliki yang tidak dapat mereka ganggu dan kendalikan, itu tidak berlaku untuk Bitcoin,” kata Dalio.
Bagi bank sentral yang membutuhkan aset paling andal saat krisis atau ketegangan geopolitik, perbedaan karakter ini menjadi krusial.
Kedua, Dalio menyoroti risiko teknologi dan keamanan. Ia mempertanyakan kemungkinan Bitcoin suatu saat dapat diretas, dipecahkan, atau dikendalikan oleh pihak tertentu. Ia mengibaratkan ketidakpastian ini dengan kemunculan produk sintetik yang berpotensi merusak kelangkaan aset, seperti berlian buatan terhadap berlian alami.
Pernyataan Dalio diungkap di tengah volatilitas Bitcoin yang masih tinggi. Dalam tiga bulan terakhir, harga Bitcoin sempat merosot ke level US$ 87.944,77, turun sekitar 22,1 persen.
Tak hanya Bitcoin, Dalio juga mengkritik stablecoin. Menurutnya, karena nilainya dipatok pada mata uang fiat seperti dolar AS, stablecoin mewarisi kelemahan jangka panjang yang sama. “Stablecoin terikat pada mata uang fiat, sehingga nilainya turun seperti nilai mata uang fiat turun. Dan itu tidak memberikan suku bunga,” ujarnya.
Ia menilai, meskipun berguna untuk transaksi yang cepat dan efisien, stablecoin belum layak dianggap sebagai penyimpan kekayaan yang solid dan umumnya tidak menawarkan imbal hasil yang berarti.
Pandangan Dalio soal Bitcoin dan emas sebagai aset cadangan mengemuka di tengah ketidakpastian ekonomi global. Sejak pandemi, banyak negara menghadapi lonjakan inflasi dan akumulasi utang publik akibat kebijakan quantitative easing. Kondisi ini memicu perdebatan luas tentang masa depan mata uang fiat dan pencarian aset alternatif yang mampu menjaga daya beli dalam jangka panjang.
Bitcoin, dengan sifat desentralisasi dan pasokan terbatas hingga 21 juta unit, kerap dipromosikan sebagai “emas digital” untuk melawan inflasi. Namun, pernyataan Dalio mencerminkan kekhawatiran mendasar dari perspektif otoritas moneter. Bagi negara, aset cadangan harus sepenuhnya berada di bawah kendali yurisdiksi dan memiliki rekam jejak panjang sebagai safe haven saat krisis geopolitik, layaknya karakteristik pada emas fisik.
Namun, argumen Dalio dibantah analis dan penulis kripto Adam Livingston, dengan menyatakan bahwa transparansi Bitcoin adalah sebuah keunggulan, bukan kelemahan.
“Auditabilitas publik menghilangkan opasitas yang justru membuat perbankan bayangan runtuh pada 2008,” kata Livingston, mengutip Benzinga.
Ia menyebut narasi bahwa “kode bisa diretas” sebagai FUD yang digembar-gemborkan tanpa dasar, seraya menegaskan bahwa algoritma SHA-256 Bitcoin, yang digunakan untuk penambangan dan verifikasi transaksi, hingga kini belum pernah berhasil dipecahkan, meskipun telah ada berbagai inisiatif sayembara global.


















