S&P: Perusahaan RI Tangguh Hadapi Rupiah Melemah dan Tarif AS

- Pendanaan domestik mendukung perekonomian, meski beberapa sektor masih rentan.
- S&P: Sekitar 80 persen peringkat perusahaan Indonesia memiliki prospek yang stabil.
Jakarta, FORTUNE - S&P Global Ratings, lembaga pemeringkat global, menilai perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki ketahanan kuat dalam mengelola dan menahan dampak negatif dari pelemahan nilai tukar rupiah di tengah dinamika kebijakan tarif Amerika Serikat.
Penilaian ini termuat dalam laporan terbaru S&P.
Xavier Jean, Direktur Senior Pemeringkat Perusahaan di S&P Singapura, menjelaskan rupiah memang telah terdepresiasi mendekati level terendahnya dalam beberapa bulan terakhir. Namun, ia menyatakan dampak yang ditimbulkan pada margin keuntungan perusahaan, beban pembayaran bunga, dan sentimen investor masih tergolong minimal.
Ketahanan ini, menurut Jean, sebagian besar disebabkan oleh praktik lindung nilai mata uang yang semakin umum dilakukan oleh perusahaan. Selain itu, "penerbit obligasi yang diperingkat semakin meningkatkan pendanaan domestik untuk membayar utang dalam mata uang asing," tambahnya, seperti tertuang dalam laporan S&P bertajuk Corporate Top Trends Update, dikutip Jumat (2/5).
Stabilitas pembiayaan ulang utang juga relatif terkendali. Diperkirakan sekitar US$15 miliar utang dalam denominasi dolar AS akan jatuh tempo antara 2025 hingga 2027.
Mayoritas dari utang ini dipegang oleh produsen komoditas dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berskala besar. Mereka cenderung memiliki "lindung nilai alami" berkat pendapatan yang didominasi mata uang asing dari ekspor, sehingga risiko pembiayaan kembali relatif terkendali.
Kendati sebagian besar perusahaan menunjukkan ketahanan, S&P mengidentifikasi adanya kerentanan pada sektor-sektor tertentu.
Isu ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch) masih menjadi perhatian, khususnya pada sektor real estat, pakan ternak, manufaktur ban, telekomunikasi, dan ketenagalistrikan non-regulasi. Namun, ada sinyal positif dari beberapa perusahaan properti yang telah proaktif melakukan manajemen aset dan kewajiban guna memitigasi risiko pembiayaan jangka pendek.
Terkait risiko tarif dari Amerika Serikat, Indonesia secara umum relatif aman. Ekspor ke AS hanya menyumbang 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, angka yang jauh di bawah rata-rata kawasan Asia Pasifik.
Namun, beberapa sektor tetap terekspos volatilitas permintaan pasar AS. Sektor tekstil dan pakaian jadi misalnya, menggantungkan sekitar 60 persen ekspornya ke pasar tersebut. Sektor lain yang juga memiliki ketergantungan pada pasar AS adalah karet, kelapa sawit, dan ban.
Dukungan bagi perekonomian Indonesia juga datang dari pendanaan domestik. Xavier Jean mengamati adanya pelambatan pertumbuhan pinjaman dari hampir 15 persen tahun lalu menjadi kisaran 10-12 persen pada 2025.
Meskipun demikian, angka pertumbuhan ini tetap di atas rata-rata lima tahun terakhir, mengindikasikan lembaga keuangan masih aktif menyalurkan kredit, namun dengan selektivitas yang lebih ketat dibandingkan sebelumnya.
S&P Ratings juga menyoroti tingkat investasi perusahaan yang tetap tinggi. Belanja modal (capex) diproyeksikan terus meningkat, utamanya guna mendukung transisi energi dan diversifikasi model bisnis, melanjutkan tren positif dari 2023 dan 2024.
S&P memperkirakan sekitar separuh perusahaan yang mereka peringkat akan mencatat arus kas diskresioner negatif pada 2025. Namun, profil keuangan mereka dinilai masih terkendali, terlihat dari pertumbuhan laba yang sejalan dengan peningkatan utang.
"Karena alasan ini, sekitar 80 persen peringkat kami pada perusahaan Indonesia memiliki prospek yang stabil," kata Jean.
Sebagai faktor tambahan, S&P juga mencermati pembentukan lembaga Danantara oleh pemerintah. Entitas baru ini berpotensi memengaruhi lanskap keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berskala besar.
S&P menyatakan akan terus memantau perkembangan terkait mekanisme dukungan fiskal, tata kelola, dan strategi investasi Danantara, mengingat potensi dampaknya yang signifikan terhadap profil kredit perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut.