Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

CELIOS Minta BPS Perbarui Metodologi Pengukuran Kemiskinan

Kemiskinan (iStock)
Kemiskinan (iStock)
Intinya sih...
  • CELIOs meminta BPS perbarui metodelogi pengukuran kemiskinan
  • BPS menggunakan pendekatan pengeluaran, tidak relevan di era finansial masa kini
  • Kementerian Kesehatan merilis jumlah PBI BPJS yang berbeda jauh dengan klaim BPS

Jakarta, FORTUNE - Lembaga penelitian independen, Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mendesak Badan Pusat Statistik (BPS) memperbarui metodologi pengukuran kemiskinan yang digunakannya. Pasalnya, metodologi yang diterapkan BPS saat ini dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat.

Selama ini, BPS menghitung jumlah penduduk miskin berdasarkan garis kemiskinan (GK). Komponen GK ini mencakup garis kemiskinan makanan (GKM), yakni biaya pemenuhan kebutuhan gizi minimum 2.100 kilokalori per orang per hari, dan garis kemiskinan non-makanan (GKNM). Seseorang dikategorikan miskin jika pengeluarannya berada di bawah GK tersebut.

Pendekatan BPS yang menggunakan pengeluaran, bukan pendapatan, untuk mengukur kesejahteraan dinilai CELIOS tidak lagi relevan. Penilaian ini didasarkan pada kondisi finansial masyarakat yang telah banyak berubah, termasuk meluasnya akses terhadap kredit konsumtif dan pinjaman daring.

“Masalahnya di dalam pendekatan BPS ini hanya berfokus pada pengeluaran, tetapi bukan sumber dari pengeluaran itu, sehingga banyak yang tidak ter-capture termasuk juga utang. Jadi pengeluaran yang tinggi itu belum tentu mencerminkan kemampuan finansial kita,” ujar Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, dalam paparannya secara daring, Rabu (28/5).

Persoalan lain, lanjut Media, adalah penggunaan skema penduduk referensi oleh BPS, yakni 20 persen penduduk yang berada di atas garis kemiskinan sementara, sebagai acuan penentuan garis kemiskinan. Mayoritas penduduk referensi ini, menurutnya, masuk kategori kelas menengah rentan yang selama beberapa tahun terakhir mengalami tekanan ekonomi signifikan sehingga terpaksa mengurangi konsumsi, baik kuantitas maupun kualitas.

Akibatnya, karena BPS menggunakan tren konsumsi kelompok tersebut sebagai acuan, nilai rupiah garis kemiskinan yang ditetapkan BPS cenderung tidak meningkat signifikan. Kondisi ini memunculkan paradoks statistik kemiskinan: kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum berpotensi memburuk, namun angka kemiskinan BPS tetap bisa turun.

Hal tersebut, menurut CELIOS, menciptakan ilusi seolah kemiskinan membaik, padahal penurunan terjadi karena standar pengukuran yang 'menyesuaikan' dengan meluasnya kondisi hampir miskin.

Sebagai perbandingan, Kementerian Kesehatan merilis data Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan. Program ini menyasar masyarakat tidak mampu. Jumlah penerima PBI mencapai 96 juta jiwa, yang sesuai kriteria Kementerian Sosial (Kemensos), termasuk kategori miskin. Angka ini sangat kontras dengan data BPS yang mencatat penduduk miskin Indonesia hanya sekitar 24 juta jiwa.

“Nah, ini juga kontras. Publik itu [jadi] bingung. Ini data World Bank dan data BPS jumlahnya berbeda signifikan. Tetapi, bagi saya, masalah utama kita hari ini sebetulnya bukan lagi di sisi memperdebatkan soal mana yang benar. Tetapi, pertanyaannya adalah apakah metodologi yang digunakan oleh BPS dan World Bank itu betul-betul bisa menciptakan kebijakan yang adil,” ujarnya.

Implikasi dari perbedaan data kemiskinan ini, menurut Media, sangat fatal karena berpotensi memengaruhi besaran anggaran yang dialokasikan untuk menopang penduduk miskin. Ia menambahkan, jika data BPS yang menunjukkan 24 juta penduduk miskin menjadi acuan, anggaran bantuan sosial dikhawatirkan tidak akan mencukupi kebutuhan riil.

Oleh karena itu, Media mengusulkan agar ukuran kesejahteraan tidak lagi berbasis total pengeluaran, melainkan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income). Indikator ini merujuk pada sisa sumber daya yang benar-benar tersedia setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar terpenuhi.

“Dan satu lagi yang paling penting yang perlu didorong itu adalah kita menghitung tingkat kemiskinan sebelum dan setelah pajak dan bantuan sosial,” ujarnya.

Share
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us