NEWS

Indef: Bursa CPO Bakal Untungkan Asing dan Rugikan Petani

Pembentukan bursa tersebut mesti dicermati.

Indef: Bursa CPO Bakal Untungkan Asing dan Rugikan PetaniShutterstock/Lobsarts
24 May 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Rencana pemerintah meluncurkan bursa untuk perdagangan komoditas minyak sawit mentah (CPO) pada Juni mendatang perlu dicermati karena ditengarai dapat menguntungkan buyer/asing, sekaligus membebani pelaku usaha termasuk petani sawit yang menanggung biaya tambahan.

Direktur Eksekutif Institute of Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai bursa CPO di Indonesia tentu akan menguntungkan pembeli karena memberikan banyak pilihan selain bursa Malaysia dan Rotterdam.

“Sekarang kan ada duapoli, yakni di Malaysia dan Rotterdam. Kalau ditambah lagi akan lebih banyak. Jadi kan persaingan lebih ketat. Akhirnya buyer lebih selektif karena punya banyak pilihan,” kata Tauhid dalam keterangan pers, Selasa (23/5).

Kendati demikian, kata Tauhid, bursa CPO Indonesia akan menguntungkan pemerintah karena lebih fair dalam mengacu pada penetapan pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK).

“Itu lebih clear ketimbang yang dipakai bursa Malaysia,” ujarnya.

Namun, bagi eksportir, belum tentu harga yang diterima itu lebih baik. Bisa saja harga lebih tinggi, tapi karena persaingan antar bursa yang lebih ketat, harga lebih rendah bisa terbentuk. Sama halnya seperti komoditas minyak mentah: ada Brent, WTI, dan lainnya. 

“Tinggal nanti apakah kita menjual CPO dengan kualitas yang sama atau tidak. Nah itu yang berbeda. Selain itu kemungkinan ada perbedaan karena adanya biaya logistik dan lain sebagainya. Kalau beli di sini, ada cost untuk mengambilnya, misalnya. Tinggal dilihat dinamika harganya seperti apa,” katanya.

Ada aspek dalam pembentukan harga

Di sisi lain, Tauhid menyebut yang masuk dalam bursa komoditas itu ada biaya walaupun mungkin nanti bergantung pada volume yang diperdagangkan.

“Semakin banyak yang diperdagangkan, semakin tinggi cost-nya. Kayak di bursa efek. Ada biaya fee bursa, tapi kecil. Nah ini juga sama. Lembaga bursa itu harus hidup. Dia punya infrastruktur, SDM, dan lainnya. Tidak mungkin lembaga bursa ini dibiayai pemerintah secara utuh,” katanya. 

Biaya yang timbul dari fee itu akan berdampak secara tidak langsung terhadap pembentukan harga di hulu.

“Otomatis ini akan berdampak ke hulu, yakni menekan harga tandan buah segar (TBS). Ya kan sudah ada PE, BK, dan lainnya. Di Malaysia kan beda, dia (eksportir) enggak ikut bursa di sana (bursa Malaysia), tapi bisa jual di sini. Tapi kalau di sini kan wajib ikut bursa di sini. Otomatis ada cost yang dibebankan. Nah ini yang harus dilihat lagi,” ujarnya.
 

Risiko fluktuasi nilai Rupiah

Dia juga menyoroti penggunaan nilai tukar yang akan dipakai di bursa CPO ini. Jika diwajibkan menggunakan rupiah dalam bertransaksi, Tauhid menilai ada risiko dari fluktuasi nilainya.

“Jika rupiah melemah, depresiasi, itu kan jadi problem. Juga sebaliknya,” katanya.

Selain biaya kepesertaan di bursa, Tauhid juga menggarisbawahi adanya rencana pengenaan PPh meskipun dapat direstitusi.

“Berarti perusahaan kena pajak lagi. Dan kalaupun ada restitusi pajak, kan butuh waktu. Menurut saya sih jarang yang berhasil restitusi pajak. Menurut saya, dalam tahap awal jangan dululah. Kita mesti lihat apakah ini membuat semakin baik atau tidak,” ujarnya.

Rencana ini sebenarnya sudah diwacanakan sejak 10 tahun lalu. "Selisih harga dengan bursa Malaysia bagaimana, apakah jauh atau tidak, itu tidak bisa dijawab sekarang. Kalau cost-nya lebih besar daripada manfaatnya ya jadi masalah,” ujarnya.

 

Related Topics