NEWS

Alasan Tingkat Ketahanan Energi Indonesia Belum Maksimal

Ada dua alasan Indonesia belum masuk kategori sangat tahan.

Alasan Tingkat Ketahanan Energi Indonesia Belum MaksimalIlustrasi sumber energi terbarukan. (Pixabay/Seagul)
by
29 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto membagi informasi mengenai penguatan indeks ketahanan energi nasional dari tahun ke tahun. Saat ini, indeks ketahanan energi nasional 6,57 atau tergolong tahan (rentang indeks 6–7,99).

"Kenapa kita belum mencapai kategori sangat tahan (rentang indeks 8–10)? Sebab dua aspek ini yaitu accessibility dan acceptability masih sangat kurang, meskipun pemerintah terus berupaya membangun infrastruktur gas, juga BBM melalui program BBM satu harga. Kita membangun SPBU kecil di daerah 3T. Sedangkan untuk aspek acceptability ini terkait dengan lingkungan," kata Djoko dalam keterangan tertulis dikutip Senin, (29/11).

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi, yang dimaksud dengan ketahanan energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi, dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Pengukurannya menerapkan aspek 4A, yakni availability, affordability, accessibility, dan acceptability

Aspek availability meliputi ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri. Selanjutnya aspek affordability yaitu keterjangkauan biaya investasi energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan konsumen terhadap harga energi. Aspek accesibility adalah kemampuan untuk mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografik dan geopolitik. Sedangkan aspek acceptability adalah penggunaan energi yang peduli lingkungan (darat, laut dan udara) termasuk penerimaan masyarakat.

Tingkat EBT Indonesia baru 11 persen

Djoko mengatakan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia pada 2020 mencapai 11,2 persen, meningkat ketimbang 2015 yang sebesar 4 persen. "Kita menuju 23 persen di 2025. Artinya kalau kita melakukan business as usual, mudah-mudahan ini bisa tercapai, dan di 2050 31 persen, kemudian di 2060 di mana kita punya target net zero emission, mudah-mudahan EBT sudah di atas 50 persen," ujarnya.

Dukungan transisi energi, menurut Djoko, secara umum dapat dilakukan melalui regulasi harga gas sebesar US$ 6/MMBTU, Rancangan Undang-Undang EBT dan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Harga EBT. Tak hanya itu, terdapat beberapa dukungan lain dari pemerintah, seperti penyusunan Rancangan Perpres Cadangan Penyangga Energi, zero flaring gas, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, serta Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

Menteri ESDM Arifin Tasrif memperkirakan konsumsi energi dari EBT akan terus meningkat dalam beberapa dekade ke depan. Proyeksi tersebut membuka ruang pengembangan EBT sebagai prioritas utama guna meningkatkan ketahanan energi nasional jangka panjang. Upaya ini selaras dengan komitmen dunia dalam menekan laju pertumbuhan emisi gas rumah kaca.

"Untuk menekan laju emisi, Pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju NZE, dengan strategi antara lain pengembangan utama EBT secara masif, mendorong penggunaan kendaraan listrik, dan pengembangan interkoneksi transmisi, dan smart grid," ujarnya.

Related Topics