NEWS

Biaya Logistik RI Sudah 14,29 Persen PDB, Tapi Masih Tinggi di ASEAN

Biaya logistik RI di atas Malaysia, Filipina, dan Singapura.

Biaya Logistik RI Sudah 14,29 Persen PDB, Tapi Masih Tinggi di ASEANPlt Sekretaris Jenderal Dewan nasional KEK, Susiwijono Moegiarso (tengah). (dok. Kemenko Perekonomian)
10 October 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengatakan biaya logistik nasional Indonesia sudah turun hingga di bawah 15 persen terhadap PDB dari 16,29 persen pada 2019.

Meski mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir, yakni 14,14 persen (2020) dan 13,36 persen (2021), biaya logistik Indonesia yang sebesar 14,29 persen terhadap PDB pada 2022 menunjukkan dampak efisiensi dari berbagai kebijakan pemerintah.

"Artinya ini sudah cukup baik di bawah 15 persen dan targetnya...[Kami] harapkan di 2045 nanti logistics cost hanya 8 persen dari PDB kita sehingga sangat efisien sekali," ujarnya dalam seminar bertajuk Peningkatan Kinerja Logistik melalui Utilitas Layanan Nasional Logistic Ecosystem (NLE), Selasa (10/10).

Dia mengatakan Kemenko Perekonomian bersama Bappenas dan BPS pada 14 September lalu telah meluncurkan biaya logistik nasional yang didasarkan pada perhitungan ongkos logistik tingkat nasional dengan menggunakan basis data BPS.

Langkah tersebut merupakan bagian dari upaya optimalisasi sistem logistik nasional yang dilakukan pemerintah sejak 2012.

Upaya awal penataan sistem logistik nasional (Sislognas) dimulai dengan perilisan Peraturan Presiden (Perpres) No.26/2012 yang memuat panduan pengembangan logistik berbasis sinkronisasi, integrasi, dan kolaborasi untuk meningkatkan daya saing.

"Ini juga kita sebut sebagai reformasi logistik 1.0," katanya.

Upaya tersebut dilanjutkan dengan penerbitan Paket Kebijakan Ekonomi XV tahun 2017 yang bertujuan memberikan peluang pasar—seperti pengusaha pelayaran, ocean insurance, dan pemeliharaan kapal nasional—dan meningkatkan daya saing pengusaha logistik.

Selain itu, ada pula penguatan Indonesia National Single Window dengan disahkannya Perpres 44 tahun 2018.

"Kemudian juga setelah itu kita menerbitkan Inpres Nomor 5 tahun 2020. Yang ini khusus mengenai penataan ekosistem logistik nasional kita atau NLE. Ini yang sering kita sebut sebagai reformasi logistik yang ketiga atau 3.0," ujarnya.

Susiwijono mengatakan berbagai kebijakan tersebut didesain sejak awal untuk menghapus berbagai duplikasi serta hambatan-hambatan dalam logistik nasional, seraya menggabungkan serta mengintegrasikan efisiensi melalui berbagai digitalisasi dan layanan, "terutama melalui konsep Online Single Submission," katanya.

Berbagai upaya pembenahan sistem logistik lain yang dilakukan pemerintah , menurutnya, juga telah membuahkan hasil. Misalnya, penerapan National Logistics Ecosystem (NLE) di berbagai pelabuhan dan bandara.

"Per hari ini dwelling time kita tercatat sudah bisa mencapai 2,25 hari ini melampaui target kita yang sebesar 2,9 hari dan hanya sedikit di bawah Singapura untuk di kawasan ASEAN. Saya kira kita apresiasi teman-teman tim logistik nasional," ujarnya.

Tertinggal Malaysia, Filipina dan Singapura

Dalam kesempatan sama, Direktur Efisiensi Proses Bisnis Logistics National Single Window (LNSW), Hermiana, mengatakan biaya logistik Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, meski sudah turun di bawah 15 persen.

Sebagai gambaran, biaya logistik Malaysia dan Filipina mencapai 13 persen PDB, sementara Singapura 8 persen.

Performa logistik Indonesia yang tergambar dalam Logistics Performance Index & Trading Across Border juga stagnan selama 2016-2020, yang mengindikasikan inefisiensi.

"Kita perlu mengejar dari tetangga kita dan kita perlu mungkin melihat lebih ke penyebabnya seperti apa sih," ujarnya.

Menurutnya, paling tidak ada empat penyebab inefisiensi yang telah berhasil didentifikasi oleh lembaganya.

Pertama, duplikasi repetisi dokumen. Kedua asymmetric information dalam supply dan demand. Ketiga, ketiadaan platform dari hulu ke hilir. Terakhir, belum memadainya kualitas infrastruktur.

"Urgensi yang perlu dilakukan bersama adalah perlunya terobosan tata kelola logistik nasional," katanya.

Related Topics