Jakarta, FORTUNE - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti besarnya piutang pajak dengan kualitas macet dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021. Pasalnya, jumlah piutang macet yang ditetapkan pada akhir tahun lalu itu mencapai Rp24,79 triliun.
Bahkan, setelah melakukan pengujian, BPK berkesimpulan bahwa total piutang macet wajib pajak yang nilainya di atas Rp100 miliar mencapai Rp20,84 triliun.
"Hasil pengujian atas ketetapan pajak dengan kualitas “Macet” dengan nilai lebih dari Rp100.000.000,00 sebesar Rp20.848.672.190.679,90 menunjukkan belum dilakukan tindakan penagihan yang memadai," tulis BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPP 2021, dikutip Jumat (16/6).
Secara terperinci, BPK mencatat adanya 1.713 ketetapan pajak sebesar Rp2,18 triliun yang sama sekali belum dilakukan tindakan penagihan. Kemudian, terdapat 4.905 ketetapan pajak sekitar Rp3,68 triliun yang telah dilakukan tindakan penagihan dengan penerbitan Surat Teguran namun belum disampaikan Surat Paksa.
Ada pula 13.547 ketetapan pajak sebesar Rp14,06 triliun yang telah dilakukan tindakan penagihan aktif dengan penerbitan Surat Paksa namun belum dilakukan tindakan penyitaan.
Terakhir, terdapat 934 ketetapan pajak sebesar Rp918,50 miliar yang telah dilakukan tindakan penagihan aktif berupa penerbitan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) namun pelunasan piutang belum optimal.
Menurut BPK, kondisi tersebut berpotensi mengakibatkan hilangnya penerimaan pajak minimal sebesar Rp20.848.672.190.679,90 apabila Kementerian Keuangan tidak segera melakukan tindakan penagihan aktif lebih lanjut. Terlebih piutang pajak bisa masuk dalam kategori daluwarsa penagihan.
Selain karena tidak optimal dalam melakukan tindakan penagihan dengan tidak menyampaikan Surat Paksa dan melakukan penyitaan; BPK menilai masalah piutang macet tersebut juga disebabkan tidak optimalnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam melakukan pengawasan berjenjang.
Penyebab lainnya adalah Belum dikembangkannya pengendalian secara sistem pada SIDJP yang secara otomatis memberikan notifikasi atas ketetapan pajak yang menjadi prioritas penagihan, khususnya yang akan daluwarsa penagihan; dan belum terintegrasinya sistem penagihan piutang PBB dengan SIDJP.
