Soal UU TNI, YLBHI: Kebebasan Sipil dan HAM Bisa Direnggut
- YLBHI mengutuk keras pengesahan revisi UU TNI oleh DPR RI, menyatakan bahwa partai-partai telah menjadi tirani dan tak mentolerir perbedaan serta kritik.
- YLBHI melihat bahwa suara rakyat tak lagi menjadi pedoman dalam membuat UU, bahkan MK yang menegur praktik penyusunan UU inkonstitusional tidak didengar.
- YLBHI khawatir pengesahan revisi UU TNI akan berdampak serius terhadap kebebasan sipil, HAM, dan memasukkan Indonesia dalam cengkraman otoritarian serta militerisme.
Jakarta, FORTUNE – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengutuk keras pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi UU.
Pengesahan UU TNI ini dilakukan oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Kamis (20/3) lalu.
“YLBHI mengecam keras pengesahan ini, walau kami sadar dan sudah memprediksi pembahasan dan pengesahan RUU TNI akan dilakukan dengan cara kilat dan inkonstitusional seperti ini. Ini pola yang sudah terlihat di DPR sejak revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga UU BUMN,” tegas Ketua Umum Pengurus YLBHI, Muhamad Isnur melalui keterangan tertulis, dikutip Sabtu (22/3).
YLBHI: Suara warga tak didengar, mencoreng prinsip demokrasi
Lanjut dia, YLBHI menilai DPR RI dan pemerintah sudah menjadi tirani soal pengesahan revisi UU TNI ini karena tidak dapat menerima perbedaan dan kritik.
“DPR bersama pemerintah telah menjadi tirani, di mana tak mentolerir perbedaan dan kritik. Partai-partai melalui fraksinya selayak kerbau dicucuk hidung, ikut dengan selera penguasa,” ujar Isnur.
Kemudian dia menyebut bahwa YLBHI melihat suara dan kegelisahan rakyat tidak menjadi pedoman dan acuan dalam membuat UU. Prinsip dan semangat negara hukum demokratis yang dijamin dalam UUD 1945 tidak lagi menjadi dasar dan kerangka dalam menyusun dan berargumentasi.
“Bahkan suara Mahkamah Konstitusi (MK) yang berulang menegur praktik penyusunan Undang-undang yang inkonstitusional juga tak didengar,” tutur Isnur.
Lebih lanjut dia, YLBHI melihat bahwa UU TNI ini hanya untuk menyalurkan kepentingan para elite militer dan para politisi sipil yang tidak bisa dan tidak mau mentaati aturan main yang demokratis. Pihaknya menyoroti aksi unjuk rasa penolakan UU tersebut di DPR RI pada Kamis (20/3) lalu, yang dijaga ketat oleh pasukan tentara dan polisi dengan alat serta persenjataan lengkap.
“Pintu-pintu dan pagar dipasang penghalang beton agar semakin sulit rakyat bersuara. Kami juga menyaksikan kembali pengerahan paramiliter dilakukan dengan terstruktur dan sistematis, dengan tujuan konflik horizontal kembali dilakukan,” tutur Isnur.
“Jelas ini melanggar banyak sekali aturan main bernegara. Kita melihat bahwa sedemikian rupa kritik rakyat dianggap sebagai musuh dan ancaman,” imbuh dia.
YLBHI khawatir berdampak terhadap HAM dan kebebasan sipil
Atas hal itu, kata Isnur, YLBHI memandang wajah Indonesia saat ini makin gelap dan masuk dalam cengkeraman otoritarian serta kembali terperosok ke dalam militerisme dan penundukan sipil.
“Kami sangat khawatir ini akan berdampak serius terhadap kebebasan sipil dan penghormatan HAM (hak asasi manusia) ke depan. YLBHI sangat khawatir ini akan berdampak pada represi dan penggusuran warga negara, petani, masyarakat adat, masyarakat di pulau-pulau di penjuru Nusantara yang mempertahankan tanah airnya dari gempuran proyek-proyek investasi,” ungkap Isnur.
Dia pun menegaskan bahwa LBH-YLBHI berkomitmen mengajak seluruh rakyat dan gerakan masyarakat sipil untuk tetap bersuara dan menyampaikan kebenaran, serta suara keadilan. Hal ini bertujuan untuk terus menjaga demokrasi, negara hukum, dan HAM.
“Bersiaplah, karena paket Undang-Undang lain yang juga mengerikan dan gelap sedang dikebut untuk diselesaikan!” pungkas dia.