INDEF Nilai Wakaf Uang Berpotensi Jadi Instrumen Fiskal Syariah

Jakarta, FORTUNE - Ekonomi syariah dinilai belum mendapat perhatian serius dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abdul Hakam Naja, menyoroti minimnya porsi ekonomi syariah dalam dokumen fiskal tersebut.
“Dari 506 singkatan, hanya lima yang bicara soal ekonomi syariah. Itu pun isinya sangat kecil,” kata Hakam, dalam Diskusi Publik Ekonomi Syariah yang membahas Nota Keuangan RAPBN 2026 pada Senin (25/8), yang disiarkan kanal YouTube INDEF.
Menurut Hakam, kondisi tersebut menunjukkan bahwa ekonomi syariah belum dianggap sebagai arus utama dalam kebijakan fiskal nasional. Padahal, Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri halal.
“Kalau hanya disebut sekilas, bagaimana ekonomi syariah bisa berkembang jadi kekuatan nyata?” ujarnya.
Hakam menilai, dominasi isu ekonomi syariah di ruang publik tidak diikuti langkah konkret dari sisi kebijakan. Pemerintah disebut masih menempatkan ekonomi syariah sebagai tambahan, bukan prioritas pembangunan.
“Kalau mau jadi pusat halal dunia, jangan hanya jargon. Anggaran dan kebijakan harus ikut mengarah ke sana,” katanya.
Ia menegaskan, strategi nyata diperlukan agar ekonomi syariah tidak berhenti pada slogan. Insentif fiskal untuk industri halal, akses pembiayaan syariah bagi UMKM, serta percepatan sertifikasi halal disebut perlu segera dijalankan.
“Jangan berhenti di branding. Harus ada roadmap fiskal dan pembiayaan syariah yang jelas, supaya kita benar-benar jadi produsen halal, bukan sekadar konsumen,” ujar Hakam.
Hakam membandingkan Indonesia dengan Malaysia yang lebih dahulu menyiapkan peta jalan ekonomi syariah dengan dukungan fiskal dan regulasi kuat. Negara tersebut berhasil menghubungkan sektor keuangan syariah dengan pengembangan industri halal sehingga produknya mampu bersaing di pasar internasional.
“Malaysia itu jelas. Ada roadmap, ada dukungan fiskal, ada pembiayaan yang nyambung dengan industrinya. Kita di Indonesia baru bicara besar, tapi eksekusinya kecil,” katanya.
Selain itu, ia menyoroti potensi wakaf uang (cash waqf) yang menurutnya belum dioptimalkan dalam RAPBN. Padahal, mekanisme tersebut bisa menjadi instrumen pembiayaan alternatif yang tidak menambah beban utang negara.
“Wakaf uang ini bisa jadi instrumen fiskal syariah yang strategis. Tapi di RAPBN, hampir tidak terlihat upaya serius ke arah sana,” ujarnya.
Hakam menjelaskan, dana wakaf dapat dialokasikan untuk proyek sosial maupun pemberdayaan ekonomi umat, termasuk mendukung pembiayaan UMKM. Namun hingga kini, pemerintah dinilai belum menyiapkan instrumen maupun insentif yang memadai agar wakaf uang dapat dikelola secara aman dan produktif.