CEO Indonesia dan IBM Jalin Dialog Strategis Hadapi Tantangan Global

- Mengusung tema “Supercharge Growth with 5 Leadership Mindshifts”, Fortune Indonesia Brainstorm menghadirkan dua figur kunci dari IBM: Juhi McClelland selaku Managing Partner IBM Consulting Asia Pacific, dan Juvanus Tjandra sebagaiManaging Partner IBM Consulting Indonesia.
- Mereka mengupas temuan dari IBM 2025 CEO Study, riset yang menghimpun perspektif lebih dari 70.000 eksekutif global, termasuk lebih dari 30 eksekutif asal Indonesia.
- Adopsi AI di Indonesia masih dalam tahap awal: baru 20 persen CEO merasa inisiatif AI mereka menghasilkan Return on Investment (ROI) yang nyata, dan hanya 16 persen yang berhasil menskalakannya di seluruh organisasi.
Jakarta, FORTUNE - Dalam lanskap bisnis yang terus berubah, para pemimpin perusahaan dituntut bukan hanya untuk beradaptasi, tetapi juga berani mengambil lompatan strategis. Hal ini menjadi sorotan utama dalam forum eksklusif Fortune Indonesia Brainstorm, yang digelar di Hutan Kota by Plataran, Jakarta, Kamis (12/6), bekerja sama dengan IBM.
Mengusung tema “Supercharge Growth with 5 Leadership Mindshifts”, forum ini menghadirkan dua figur kunci dari IBM: Juhi McClelland, Managing Partner IBM Consulting Asia Pacific, dan Juvanus Tjandra, Managing Partner IBM Consulting Indonesia.
Di hadapan para eksekutif level C dari perusahaan-perusahaan terkemuka Tanah Air, keduanya membagikan strategi bagaimana tantangan teknologi—khususnya AI—dapat diubah menjadi peluang nyata untuk mendorong pertumbuhan bisnis yang transformatif.
Tak hanya itu, mereka juga mengupas temuan dari IBM 2025 CEO Study, riset yang dirilis pada Mei 2025 dan menghimpun perspektif lebih dari 70.000 eksekutif global sejak tahun 2003, termasuk lebih dari 30 eksekutif asal Indonesia.
Adopsi AI masih dini, tetapi antusiasmenya tinggi

Dalam presentasinya, Juvanus menekankan bahwa studi ini bukan semata soal teknologi, melainkan soal pergeseran pola pikir yang dibutuhkan untuk bertahan dan tumbuh di tengah ketidakpastian. “AI bukan sekadar soal teknologi, ini tentang perubahan cara berpikir. Kami ingin membantu para eksekutif menavigasi ketidakpastian,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa 73 persen CEO Indonesia mengalami FOMO (fear of missing out) dalam adopsi AI. Mereka terdorong untuk segera menerapkan teknologi ini meski belum sepenuhnya memahami potensi nilai dan risikonya.
“Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin di Indonesia makin terdorong untuk bersaing secara global, bahkan ketika masa depan teknologinya belum sepenuhnya jelas,” tambahnya.
Namun, adopsi AI di Indonesia masih dalam tahap awal: baru 20 persen CEO merasa inisiatif AI mereka menghasilkan Return on Investment (ROI) yang nyata, dan hanya 16 persen yang berhasil menskalakannya di seluruh organisasi. Juvanus pun mengajak para pemimpin untuk melihat AI tidak semata dari sudut pandang finansial.
“AI adalah perjalanan jangka panjang. Mungkin kita perlu mulai mengukur keberhasilan lewat innovation KPI, bukan hanya ROI,” pungkasnya.
Beberapa hal yang masih menjadi tantangan

Dari sisi tantangan, studi IBM mencatat bahwa rantai pasok, talenta, dan inovasi menjadi tiga isu utama secara global. Namun di Indonesia, ada dua fokus tambahan yang mencuat: pengalaman pelanggan dan keberlanjutan (ESG).
“Customer experience menjadi perhatian utama CEO Indonesia, yang menariknya tidak terlalu disorot oleh CEO global. Ini menandakan kebutuhan untuk mengejar ketertinggalan,” kata Juvanus.
Meski tak masuk empat besar prioritas CEO Indonesia, isu talenta tetap krusial. “Sebanyak 70 persen CEO Indonesia mengaku kesulitan mendapatkan talenta yang sesuai, dan 33 persen menyadari perlunya re-skilling. Maka kolaborasi menjadi strategi kunci, bukan semata perekrutan,” jelasnya.
Dari sudut pandang regional, Juhi McClelland menambahkan bahwa tiga tantangan utama yang menghambat adopsi AI adalah fragmentasi data, kelangkaan keterampilan, dan kebutuhan akan tata kelola yang kuat.
“Data adalah aset, tapi sering kali tersebar di berbagai sistem. Tantangannya adalah bagaimana menyatukannya untuk menciptakan keunggulan kompetitif,” ujarnya.
Agentic AI: duplikasi talenta terbaik dalam skala besar

Menyoroti potensi besar agentic AI yang menurutnya merupakan evolusi terbaru dalam kecerdasan buatan. Teknologi ini dinilai mampu menjalankan tugas kompleks secara mandiri dari awal hingga akhir.
“Bayangkan jika Anda bisa menduplikasi karyawan terbaik Anda dan menjadikannya tersedia di seluruh organisasi secara simultan. Itulah kekuatan agentic AI,” jelasnya.
Teknologi ini tak hanya menganalisis dan memberi rekomendasi, tetapi juga mengeksekusi. “Seperti punya agen perjalanan pribadi yang tak hanya memberi saran, tapi juga memesan tiket, menyusun itinerary, bahkan memilihkan pakaian. Semua dilakukan dalam hitungan detik,” tambah Juhi.
Di kesempatan yang sama, ia juga menekankan bahwa untuk menjalankan transformasi AI secara efektif, seluruh fungsi manajemen harus terlibat. “Transformasi AI bukan proyek IT. Ini agenda bisnis. Dukungan dari CFO, CHRO, chief risk officer, hingga tim komunikasi sangat penting agar adopsinya menyeluruh dan berkelanjutan,” pungkasnya. (WEB)