BUSINESS

Agar Industri Tidak Alami Perlambatan, Menperin Dorong Stimulus

Menperin tetap optimistis di tengah bayang-bayang inflasi.

Agar Industri Tidak Alami Perlambatan, Menperin Dorong StimulusMenteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita. (dok. Setkab)

by Eko Wahyudi

02 November 2022

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, angkat bicara menanggapi ancaman ketidakpastian ekonomi global yang disebut-sebut bakal melahirkan resesi pada 2023. Pemerintah menurutnya perlu memberikan insentif maupun stimulus seperti pada awal pandemi Covid-19 merebak guna menjaga permintaan. 

“Hal ini perlu dipelajari dan dikaji agar sektor industri tidak mengalami perlambatan,” kata Agus dalam keterangan resmi, Selasa (1/11).

Namun, Agus optimistis bahwa di tengah bayang-bayang inflasi, industri manufaktur akan tetap menjadi salah satu penopang terbesar kinerja perekonomian nasional.

“Berdasarkan laporan S&P Global, pertumbuhan berkelanjutan di keseluruhan aspek permintaan pada sektor manufaktur Indonesia mendorong kenaikan produksi manufaktur pada bulan Oktober,” ujarnya.

Merujuk data BPS, industri pengolahan mencatatkan nilai ekspor pada Januari-September 2022 hingga US$156,17 miliar, atau naik 22,23 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sektor industri tetap memberikan kontribusi terbesar hingga 71,2 persen terhadap total nilai ekspor nasional yang mencapai US$219,35 miliar.

S&P Global menyampaikan sentimen secara keseluruhan pada sektor manufaktur di Indonesia bertahan positif dengan tingkat kepercayaan diri bisnis menguat sejak Maret. Selain itu, industri manufaktur Indonesia secara umum berharap penuh bahwa penjualan akan membaik sejalan dengan kondisi perekonomian yang lebih baik.

Menjaga kepercayaan pelaku industri

Dia menegaskan Kementerian Perindustrian terus berupaya menjaga kepercayaan diri para pelaku industri dalam menjalankan usahanya di Tanah Air, terutama di tengah kondisi ekonomi global melambat.

“PMI manufaktur di seluruh dunia turun, bahkan di negara-negara industri yang besar angkanya di bawah 50 atau tidak ekspansif,” ujarnya.

Tantangan yang dihadapi sektor industri dalam negeri adalah pasar tujuan ekspor yang perekonomiannya tengah melemah seperti Cina, Amerika Serikat, dan Eropa. Hal ini berdampak pada penyerapan beberapa produk ekspor unggulan, seperti tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, dan furnitur. Selanjutnya, industri juga dibayangi harga input tinggi yang dapat menurunkan daya saing produknya.

“Selain bahan baku yang semakin mahal, pasokannya juga masih belum lancar,” kata Agus.

Perlu menjalin kolaborasi

Untuk menjaga optimisme sektor industri, Agus menyebutkan perlunya upaya antisipasi terhadap kondisi perekonomian global yang terkontraksi, salah satunya melalui kemitraan antara industri skala besar dengan industri kecil dan menengah (IKM).

“Upaya ini dapat meningkatkan kemandirian rantai pasok di dalam negeri, mendukung program substitusi impor, serta menjaga agar industri masih bisa tumbuh sehat untuk berproduksi,” ujarnya.

Untuk produk ekspor yang mulai terdampak kondisi ekonomi negara tujuan, perlu penguatan pasar dalam negeri yang mampu menyerap produk-produk tersebut. Di antaranya dengan mengoptimalkan belanja pemerintah melalui Program Peningkatan Produk Dalam Negeri (P3DN).