BUSINESS

Pelarangan Ekspor CPO Berkepanjangan Akan Beri Dampak Negatif

Pemerintah resmi melarang ekspor CPO mulai Kamis (28/4).

Pelarangan Ekspor CPO Berkepanjangan Akan Beri Dampak NegatifPekerja menaikkan buah kelapa sawit yang baru panen di kawasan perkebunan sawit di Desa Berkat, Bodong-Bodong, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Kamis (10/3/2022). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/YU.

by Eko Wahyudi

29 April 2022

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan seluruh masyarakat dan pelaku industri sawit nasional sedang menunggu tindakan lanjutan dari pemerintah mengenai kebijakan larangan ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya.

Ketua Bidang Komunikasi GAPKI, Tofan Mahdi, menilai jika pelarangan total terhadap ekspor CPO dan seluruh produk turunannya berlangsung berkepanjangan, bakal muncul dampak negatif yang sangat merugikan bagi perusahaan perkebunan, refinery, pengemasan, dan jutaan hektare perkebunan sawit kecil dan milik rakyat.

“Kami juga berkomunikasi dengan asosiasi petani kelapa sawit untuk menyampaikan situasi terkini di industri kelapa sawit pasca kebijakan larangan ekspor CPO, serta mengambil langkah-langkah untuk antisipasi dampaknya bagi petani kelapa sawit,” ujar Tofan dalam pernyataannya, Kamis (28/4).

Melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 22 Tahun 2022, pemerintah resmi melarang ekspor CPO dan seluruh produk turunannya mulai Kamis (28/4).

Saat ini, Gapki sedang berkomunikasi dan berkoordinasi dengan asosiasi pelaku usaha sawit, baik di sektor hulu maupun hilir, termasuk Bulog, RNI, dan BUMN lainnya untuk secara maksimal melaksanakan arahan dari Presiden Joko Widodo mengenai tercapainya ketersediaan minyak goreng yang harganya terjangkau bagi masyarakat.

Para pelaku usaha kelapa sawit menghormati setiap kebijakan pemerintah terkait industri kelapa sawit. Tidak terkecuali kebijakan larangan ekspor CPO dan produk-produk turunannya seperti minyak goreng.

Larangan ekspor ganggu pemulihan ekonomi

Sementara itu, Board Member Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Arianto Patunru, menilai pelarangan ekspor CPO dan turunannya mendistorsi pasar, merugikan petani, dan mengganggu pemulihan ekonomi.

Kebijakan ini akan mengakibatkan banjir stok sawit domestik. Akibatnya, harga buah tandan segar akan terjun bebas dan hal ini akan merugikan petani sawit.

“Pelarangan ini juga akan mengganggu pemulihan ekonomi. Ekspor CPO dan turunannya bisa mencapai sekitar 10 persen total ekspor Indonesia. Dengan pelarangan eskpor, PDB kita akan turun. Dengan demikian proses pemulihan ekonomi dari hantaman Covid akan terganggu,” ujarnya, Jumat (29/4).

Berpengaruh ke perekonomian global

Ia juga menekankan dampak kebijakan ini terhadap perekonomian global karena Indonesia adalah ekportir utama CPO. Berkurangnya supply CPO akan menyebabkan kenaikan harga CPO global—dan itu sudah terjadi. Selanjutnya, hal ini akan menciptakan potensi adanya pengaduan ke WTO dan bahkan tindakan balasan oleh mitra dagang.

“Ujung-ujungnya, ia memberi kesan buruk atas perilaku Indonesia dalam pergaulan internasional. Padahal, Presidensi Indonesia pada G20 adalah peluang strategis untuk mempromosikan pemulihan ekonomi global,” ujarnya.

Dia menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini. Menurutnya, jika tujuannya mengendalikan harga minyak goreng, kebijakan yang mungkin lebih efektif adalah pajak ekspor untuk RBD palm olein.

Ia menyebut, pengenaan pajak ekspor lebih baik daripada Domestic Market Obligation (DMO), apalagi pelarangan ekspor secara total, karena memunculkan pemasukan buat negara. Sementara DMO susah diawasi, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Namun, kalau memang harus menerapkan DMO, perlu transparansi dan pengawasan yang ketat.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan segala aspek secara seksama dalam mengeluarkan kebijakan. Kesimpangsiuran kebijakan CPO ini mengurangi kepercayaan masyarakat atas kemampuan pemerintah mengambil keputusan publik. Kesimpangsiuran juga memunculkan ketidakpastian yang berdampak pada persepsi atas iklim investasi di Indonesia.