Siapa Pemilik Sritex? Ini Profil, Karier, dan Perusahaannya

- Sritex merupakan perusahaan tekstil family business yang didirikan oleh Muhammad Lukminto pada 1982.
- Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi terkait keputusan pailit Sritex oleh Pengadilan Niaga Semarang.
- Sritex mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali setelah dinyatakan pailit, dengan liabilitas mencapai 1,59 miliar dolar AS atau sekitar Rp26 triliun.
PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau lebih dikenal dengan nama Sritex adalah salah satu perusahaan tekstil besar di Indonesia yang ternyata merupakan bisnis keluarga. Perusahaan Sritex sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu dan selalu eksis dari masa ke masa.
Namun, pada 2024, Sritex menghadapi kondisi terpuruk. Sritex diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang atas permohonan dari PT Indo Bharat Rayon pada 21 Oktober lalu. Pada Desember 2024, permohonan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) Sritex juga ditolak Mahkamah Agung.
Setelah semua upaya yang dilakukan, Sritex pun resmi tutup pada 1 Maret 2025. Terlepas dari itu, sebenarnya siapa pemilik Sritex? Berikut profil pendiri, perjalanan karier, dan perusahaan yang mengelolanya.
Siapa pemilik Sritex?

Pemilik PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex adalah Muhammad Lukminto, pengusaha keturunan Tionghoa yang lahir pada 1 Juni 1946 di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur. Lukminto mendirikan Sritex pada 1982 silam.
Lukminto awalnya merupakan seorang pedagang kain di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Ia mendirikan pabrik tekstil pada 1968 dengan menggunakan keuntungan yang diperoleh dari usaha perdagangan kainnya.
Awal karier Lukminto, pemilik Sritex
Lukminto memiliki karier bisnis yang cukup sulit. Setelah tragedi Gerakan 30 September atau G30S/PKI, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang segala hal tentang etnis Tionghoa. Hal itu pun berdampak langsung kepada kehidupan muda Lukminto.
Lukminto terpaksa berhenti sekolah saat kelas 2 SMA di SMA Chong Hua Chong Hui. Ia kemudian melanjutkan hidup dengan bekerja, mengikuti kakaknya, Ie Ay Djing alias Emilia, berjualan di Pasar Klewer.
Setelah berjualan di Pasar Klewer selama dua tahun, Lukminto mendirikan pabrik cetak pertamanya di Solo yang memproduksi kain putih dan berwarna. Dilansir situs resmi Sritex, pada 1978, Lukminto mendaftarkan perusahaannya sebagai perseroan terbatas (PT) di Kementerian Perdagangan dengan nama PT Rejeki Isman atau Sritex.
Pada 1982, ia mendirikan pabrik tenun di Desa Jetis, Sukuharjo. Pabrik Sritex diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 3 Maret 1992. Bersama dengan pabrik tekstil lainnya di wilayah Solo, Sritex diminta untuk memproduksi seragam militer bagi Indonesia.
Dari tugas tersebut, nama Sritex makin dikenal luas. Bahkan, pada 1994, Sritex diminta untuk memproduksi seragam militer untuk NATO dan tentara Jerman.
Sritex terdaftar di BEI

Pada 2013, Sritex resmi terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham SRIL. Setahun setelahnya, Lukminto meninggal dunia di Singapura dan meninggalkan lima anak, yaitu Vonny Imelda, Iwan Setiawan, Lenny Imelda, Iwan Kurniawan, dan Margaret Imelda.
Setelah Sritex terdaftar di bursa, kepemilikan saham mayoritas tidak lagi dipegang oleh keluarga Lukminto.
Berdasarkan data BEI, pemegang mayoritas saham saat ini adalah PT Huddleston Indonesia yang memiliki 59,03 persen saham. Sementara itu, publik memiliki 39,89 persen saham, dan anak-anak H.M. Lukminto masing-masing memiliki kurang dari 1 persen saham.
Saat ini, Iwan Kurniawan Lukminto menjabat sebagai Direktur Utama. Sedangkan kakaknya, Iwan Setiawan Lukminto menjabat sebagai Komisaris Utama.
Pada 2020, Iwan Setiawan Lukminto masuk dalam daftar 50 orang terkaya versi Forbes, menduduki peringkat 49 dengan kekayaan mencapai 515 juta dolar AS, atau setara Rp8,3 triliun.
Jumlah utang Sritex
Laporan keuangan perusahaan Sritex menunjukkan bahwa perusahaan memiliki liabilitas atau utang sebesar 1,59 miliar dolar AS atau sekitar Rp26 triliun. Utang tersebut terdiri dari utang jangka panjang sebesar 1,46 miliar dolar AS dan utang jangka pendek sebesar 131,41 juta dolar AS.
Di antara utang-utang tersebut, Sritex memiliki utang kepada beberapa bank, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Terbesar, utang jangka pendek Sritex kepada PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mencapai 11,36 juta dolar AS. Sementara utang jangka panjangnya kepada bank yang sama mencapai 71,31 juta dolar AS.
Sritex dinyatakan pailit hingga resmi tutup total

Pada Oktober 2024, Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang usai beroperasi hampir enam dekade. Sritex juga gagal mengajukan kasasi ke MA dan sempat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pada akhir Desember 2024, tapi ditolak.
Setelah segala upaya penyelamatan yang dilakukan, akhirnya Sritex resmi tutup total pada Sabtu, 1 Maret 2025. Hal ini menyusul Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 10.969 karyawan Sritex.
Secara rinci, berdasarkan data dari Kurator dan Disnakertrans Jawa Tengah, PHK telah berlangsung sejak Agustus 2024 atau sebelum dinyatakan pailit. Berikut rincian jumlah karyawan Sritex yang di-PHK:
PHK Agustus 2024 (sebelum pailit)
Sinar Panja Jaya (300 orang)
PHK Januari 2025
PT. Bitratex Semarang (1.065 orang)
PHK 26 Februari 2025
PT. Sritex Sukoharjo (8.504 orang)
PT. Primayuda Boyolali (956 orang)
PT. Sinar Panja Jaya Semarang (40 orang)
PT. Bitratex Semarang (104 orang)
Melihat kondisi demikian, Kementerian Ketenagakerjaan dan manajemen menyebut sudah berupaya maksimal agar tidak terjadi PHK. Namun, Kurator yang ditunjuk Pengadilan Niaga memilih untuk melakukan PHK. Maka langkah pemerintah selanjutnya menjamin hak-hak buruh.