Andrew Susanto: Bangun Bisnis Gadai Swasta dari 0 hingga 1.000 Cabang

- Andrew Susanto memulai bisnis gadai perangkat elektronik dari nol dengan modal Rp50 juta dan membuka cabang hingga 1.000 outlet.
- PGI menerapkan strategi ekspansi yang hati-hati dengan fokus pada memperkuat fondasi bisnis sebelum melakukan ekspansi besar-besaran.
- Andrew Susanto meluncurkan lini usaha baru bernama Sinar Mutiara untuk menjual barang elektronik bekas jaminan yang gagal ditebus debitur PGI.
Jakarta, FORTUNE - Andrew Susanto yang kini berumur 39 menyebut langkah awalnya itu “Bondo nekat”. Bagaimana tidak, ia berani meminjam uang sebesar Rp50 juta dari teman ayahnya untuk membuka ruko kecil di ITC Roxy Mas, Jakarta Pusat. Pada 2006, pertokoan itu merupakan pusat penjualan telepon seluler dan perangkat elektronik lainnya. Tapi, Andrew justru membuka Pusat Gadai Indonesia (PGI).
Ia menyasar peluang dari gadai perangkat elektronik. “Ada celah kebutuhan pembiayaan. Saya menerima handphone atau elektronik sebagai jaminan yang tidak dilakukan oleh Pegadaian,” kata Andrew selaku Direktur Utama PGI, saat berbincang dengan Fortune Indonesia di Kantor Pusat Gadai Indonesia, Jakarta (15/1). Saat itu, PT Pegadaian (Persero) yang merupakan perusahaan pelat merah memang hanya menerima gadai emas.
Lulusan fakultas hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) ini paham bahwa usaha gadai untuk swasta kala itu belum memiliki aturan. Maka, badan hukum yang dipilihnya adalah koperasi simpan pinjam.
Dengan modal terbatas, Andrew hanya mempekerjakan seorang karyawan yang didatangkannya dari Surabaya. Selain itu, ia menangani semuanya sendiri. Andrew bahkan mulai belajar menaksir harga barang yang dijadikan jaminan gadai. Ia banyak membaca majalah tentang telepon seluler yang saat itu banyak beredar dan memuat daftar harga aneka produk di halaman belakangnya.
Tentunya, semua itu tak bisa dikuasainya dalam waktu singkat. Ada banyak percobaan dan salah tafsir yang berakibat kerugian—khususnya barang elektronik bekas . Belum lagi, jika barang jaminan tersebut rusak di masa penyimpanan.
Tapi, Andrew tak berhenti. Ia terus belajar dan mengevaluasi diri. Kondisi barang harus diperiksa setiap bulan karena pinjaman yang dikelolanya jatuh tempo dalam hitungan bulan. “Lama-lama kami tau error rate-nya berapa. Dari 1.000, barang yang rusak antara dua sampai tiga. Jadi tingkat kesalahannya 0,3 persen. Kami ganti barangnya. Ya sudah, itu risiko bisnis yang sudah kami hitung di awal,” kata Andrew.
Untuk mengganti barang jaminan yang rusak itu, Andrew menggunakan dana dari biaya jasa yang dipungutnya dari pengguna. Karena cukup berisiko, biaya jasa ditetapkannya di atas 3 persen untuk barang elektronik tertentu yang membutuhkan perawatan, seperti telepon seluler dan laptop.
Berselang tiga tahun, Andrew berhasil melunasi utang berikut bunganya kepada rekan sang ayah. Ia pun mulai melebarkan sayap dengan membuka cabang kedua di seberang ITC Roxy Mas, Jalan Kyai Tapa Jakarta Barat.
Setelah outlet kedua, ia pun tidak buru-buru membuka outlet baru. Ekspansi PGI pada masa awal hanya satu sampai dua outlet per tahun. “Strategi saya adalah memperkuat fondasi dulu. Fondasi itu lebih penting daripada buru-buru ekspansi. Nanti, gampang jatuh,” kata Andrew.
Untuk melengkapi ekosistemnya, Andrew membuka lini usaha baru bernama Sinar Mutiara pada 2010. Bisnis ini bergerak di bidang penjualan barang elektronik bekas jaminan yang gagal ditebus debitur PGI. Sehingga, dia tidak perlu repot melakukan lelang barang hasil gadai.
Melalui Sinar Mutiara, reseller hingga masyarakat luas dapat membeli barang elektronik, seperti laptop bekas mulai dari harga Rp100.000 hingga Rp300.000. Bahkan, sejumlah smartphone Android dibanderol dengan harga Rp1 jutaan. Tertarik dengan harga miring, saat ini mitra reseller dari usaha ini telah mencapai ribuan orang.
Hadapi rintangan bisnis

Andrew mengaku tak gentar melawan penantang industri pembiayaan lainnya, seperti fintech hingga perbankan digital. Baginya, pola bisnis fintech dan gadai memiliki pola yang berbeda. Sebab, layanan fintech melihat seorang debitur berdasarkan latar belakang atau skor kredit. Sedangkan dunia gadai melihat seorang debitur berdasarkan barang jaminan.
Andrew berpandangan, mayoritas masyarakat Indonesia belum bisa menilai kemampuan bayar dirinya sendiri ketika ingin meminjam uang. Untuk itu, layanan gadai dinilai lebih cocok bagi masyarakat yang harus berutang untuk keperluan mendesak.
Menurut Andrew, nasabah gadai lebih percaya bila barang yang digadaikan dekat dengan rumah atau tempat mereka berkegiatan. Sebab, hal itu akan memudahkan mereka bila sewaktu-waktu ingin menebusnya. Tak hanya itu, nasabah gadai juga kurang sreg dengan pelayanan antar jemput barang.
“Dulu kami pernah coba untuk layanan antar barang tapi mereka tidak mau. Mereka yang menggadaikan barang ingin tahu barangnya disimpan di mana. Kalau bisa, tempatnya sedekat mungkin dengan rumah mereka,” kata Andrew.
PGI pun menyimpan barang jaminan di masing-masing kantor cabang. Sehingga, nasabah dapat secara menebus atau memperpanjang tenor pembiayaan dengan lebih cepat.
Risikonya tentu keamanan. Sejumlah kantor cabang PGI sempat dibobol perampok pada 2018 silam. Barang jaminan senilai Rp50 juta hingga Rp100 juta pun melayang. Meski kerugian ditanggung asuransi, namun proses penggantian kepada masing-masing nasabah bukan perkara mudah. Belum lagi, ada kepercayaan yang dicederai.
Kejadian itu sempat membuat Andrew trauma. Namun, ia tak mau berlarut menyalahkan keadaan dan karyawan, melainkan menjadikan pengalaman itu sebagai pelajaran penting untuk meningkatkan keamanan. Kini, kondisi setiap cabang dipantau 24 jam dari kantor pusat. Vendor alarm terbaik didatangkan dari Jepang. Sistemnya tak hanya menggunakan CCTV melainkan juga sensor suhu.
“Jika ada pergerakan masuk, ada perbedaan sekian derajat dari suhu orang dan suhu ruangan, alarm akan menyala sampai kantor pusat,” kata Andrew.
Selesai merevitalisasi keamanan, pagebluk melanda. Semua kegiatan harus berkurang karena pemerintah memberlakukan pembatasan sosial. Di sisi lain, masyarakat tak lagi leluasa bepergian, termasuk untuk mengurus gadai barang.
“Omzet PGI sempat turun 50 persen. Barang yang tidak ditebus pun sulit dijual karena kondisi ekonomi menurun,” kata Andrew.
Bagaimanapun, ia berupaya untuk tak mengurangi gaji dan jumlah karyawan. Optimistis bahwa ekonomi akan bangkit, Andrew mengambil langkah berani. Lantas, bagaimana Andrew Susanto bisa bangkit dan mengembangkan bisnis lainnya? Baca selengkapnya di Majalah Fortune Indonesia Edisi Khusus 40 Under 40, Februari 2025.