Trump Kembali Mengguncang, Bidik Tarif Baru untuk Mineral Penting
- Trump memerintahkan kajian tarif baru untuk impor mineral penting yang menjadi tulang punggung industri modern.
- Langkah ini diambil karena AS dinilai terlalu bergantung pada Cina dan negara lain dalam rantai pasok mineral strategis.
- Kebijakan ini bisa memicu pergeseran besar dalam rantai pasok global mineral dan memengaruhi harga produk teknologi tinggi.
Jakarta, FORTUNE - Langkah mengejutkan kembali diambil Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dalam kebijakan perdagangan internasional. Kali ini, fokusnya tertuju pada potensi pengenaan tarif baru yang luas terhadap impor mineral-mineral penting. Mineral-mineral ini merupakan fondasi bagi berbagai industri modern, mulai dari kendaraan listrik yang sedang naik daun hingga teknologi pertahanan yang vital.
Keputusan ini mengirimkan sinyal kuat dari Washington bahwa pemerintah AS semakin khawatir dengan tingkat ketergantungannya pada Cina dan negara-negara lain dalam rantai pasok mineral strategis. Ketergantungan ini dipandang sebagai ancaman nyata bagi keamanan nasional Amerika Serikat.
“Ketergantungan ini menimbulkan ancaman terhadap stabilitas harga, kesiapan pertahanan, serta daya tahan ekonomi kita,” ujar Trump dalam perintah eksekutifnya yang dirilis Selasa (15/4) seperti dikutip dari laporan Reuters.
Untuk mengkaji lebih lanjut langkah ini, Trump menunjuk Menteri Perdagangan, Howard Lutnick, sebagai pemimpin tinjauan. Tinjauan ini akan didasarkan pada Bagian 232 dari Undang-Undang Ekspansi Perdagangan 1962. Aturan serupa pernah digunakan Trump sebelumnya untuk memberlakukan tarif 25 persen terhadap impor baja dan aluminium pada masa kepemimpinan pertamanya.
Kekhawatiran AS bukannya tanpa alasan. Saat ini, Cina mendominasi produksi global untuk 30 dari 50 jenis mineral yang dianggap krusial oleh Survei Geologi AS. Dalam beberapa bulan terakhir, Beijing juga mengambil langkah membatasi ekspor beberapa komoditas penting, yang memicu kekhawatiran di seluruh dunia terkait potensi kelangkaan bahan baku industri.
Sejumlah mineral strategis menjadi fokus utama dalam tinjauan ini, termasuk kobalt, nikel, tanah jarang, uranium, dan tembaga. Selain menyoroti sisi impor, Trump juga mendorong dilakukannya kajian mendalam terhadap kapasitas domestik AS dalam memproses dan mendaur ulang mineral-mineral tersebut.
“AS hanya memiliki satu tambang nikel aktif, tanpa fasilitas peleburan. Untuk kobalt, bahkan tidak ada tambang ataupun kilang dalam negeri,” demikian laporan Gedung Putih.
Tinjauan ini juga mencakup kemampuan AS dalam memproduksi barang setengah jadi, seperti katoda baterai dan komponen turbin angin, yang sangat dibutuhkan pada era transisi energi bersih.
Dari regulasi ke produksi: Amerika kembali ke tambang?
Langkah terbaru ini bukanlah upaya pertama Trump menghidupkan kembali industri pertambangan AS. Bulan lalu, ia telah menandatangani perintah eksekutif yang bertujuan mempercepat proses perizinan tambang baru serta mengidentifikasi lahan federal yang berpotensi untuk pemrosesan mineral.
Meskipun demikian, para ahli memberikan catatan bahwa membangun kembali infrastruktur pertambangan dan pemrosesan bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
“Butuh waktu bertahun-tahun sebelum fasilitas tersebut bisa beroperasi. Pertanyaannya, dari mana AS akan mendapatkan suplai dalam waktu dekat jika tarif diberlakukan luas?” ujar Gracelin Baskaran dari Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Jika Trump benar-benar memberlakukan tarif atas impor mineral penting dari negara-negara tertentu, kebijakan ini berpotensi menggantikan tarif timbal balik yang telah ada sebelumnya. Dalam perspektif jangka panjang, kebijakan ini dapat memicu pergeseran besar dalam peta rantai pasok mineral global dan secara signifikan memengaruhi harga berbagai produk teknologi tinggi.
Dalam kurun 180 hari mendatang, Menteri Perdagangan, Howard Lutnick, diwajibkan menyerahkan laporan hasil kajian kepada Trump, termasuk rekomendasi mengenai perlunya pemberlakuan tarif.
Bagi dunia, langkah ini bisa jadi merupakan babak baru dalam dinamika perang dagang antara AS dan Cina. Namun, bagi Trump, kebijakan ini adalah bagian integral dari visinya membangun kembali "kemandirian industri" Amerika Serikat, meskipun langkah ini berpotensi menimbulkan gejolak di pasar global.
