Apa itu Hybrid Mismatch Arrangement?

Jakarta FORTUNE - Hybrid mismatch arrangements merupakan istilah yang mulai kerap muncul dalam lingkup kajian perpajakan. Ini mengacu pada kebijakan atau aturan pengenaan tarif pajak agresif untuk mengantisipasi perbedaan perlakuan pajak suatu entitas atau instrumen berdasarkan undang-undang dari dua atau lebih yurisdiksi untuk mencegah pengenaan pajak ganda, termasuk penangguhan perpajakan jangka panjang.
Terlebih, perkembangan teknologi digital telah mengaburkan batas antar yuridiksi dan memudahkan para pebisnis melakukan transaksi lintas negara dengan mudah.
Mengutip jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan yang dipublikasi Kemenkeu (2018), konsep hybrid mismatch arrangements ini digunakan untuk mencegah badan usaha yang beroperasi di dua—atau lebih—negara berbeda menurunkan beban pajaknya, dengan memanfaatkan kesenjangan tarif di antara yuridiksi tempat mereka beroperasi tersebut.
Sampai batas tertentu, cara-cara yang digunakan badan usaha tersebut dapat dianalogikan dengan strategi profit atau cost-pooling. Keuntungan perusahaan akan dialihkan ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali, dan biaya akan dialihkan ke tarif pajak yang lebih tinggi negara (base erosion and profit shifting/BEPS)
Bahkan, seringnya, keuntungan tersebut dialihkan ke anak perusahaan yang hanya bersifat paper box company alias tidak memiliki substansi ekonomi.
Baru-baru ini, risiko-risiko tersebut disoroti oleh otoritas pajak di berbagai negara. Dalam laporan OECD (2010), isu hybrid mismatch tersebut telah mengemuka karena menyebabkan kerugian pada sektor perbankan. Usai laporan tersebut, negara-negara anggota OECD mulai mengidentifikasi contoh perencanaan pajak menggunakan hybrid mismatch arrangements dan menghasilkan laporan OECD 2012.
Beberapa negara sebenarnya telah menerapkan penggunaan tarif pajak efektif (efective tax rate/ETR) untuk mencegah BEPS. Namun, hasilnya kerap dianggap tidak signifikan karena tarif pajak pada banyak negara hampir tidak berubah dari waktu ke waktu.
Terbukti, seperti dijelaskan dalam jurnal dimaksud, perbedaan pajak dan penggunaan konsep ETR tidak memiliki korelasi memadai terhadap penambahan investasi dari perusahaan yang menjadi objek pajak.
Analogi yang digunakan sama dengan konsep capital inflow atau outflow sebagai dampak dari perbedaan pajak yang disarankan oleh Bénassy-Quéré et al. (2005).
Mereka menjelaskan asimetri dalam dampak perbedaan pajak terhadap investasi: bahwa tarif pajak yang lebih rendah di negara penerima gagal menarik investasi asing secara signifikan, sementara pajak yang lebih tinggi cenderung menghambat arus masuk FDI (investasi asing) baru.
Demi menangkal maraknya praktik BEPS tersebut, pada September 2013 G20—bekerja sama dengan OECD—meluncurkan 15 Rencana Aksi BEPS yang terbagi menjadi tiga pilar utama:
- Koherensi pajak penghasilan perusahaan di tingkat internasional (coherence);
- Penataan kembali sistem perpajakan serta substansinya (substance);
- Transparansi yang didukung dengan kepastian dan prediktabilitas (transparency).
Selain tiga pilar tersebut, OECD juga menyusun Action Plan terkait pemajakan ekonomi digital (digital economy) dan instrumen multilateral (multilateral instrument/ MLI).
Rencana Aksi BEPS 15
Rencana Aksi BEPS 15, bertajuk Developing a Multilateral Instrument to Modify Bilateral Tax Treaties (MLI), dilakukan melalui penguatan pasal-pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan memodifikasinya via rekomendasi dalam MLI.
Rekomendasi dimaksud merupakan kompilasi dari rekomendasi beberapa Rencana Aksi BEPS lainnya yang terkait dengan P3B (treaty related) seperti Rencana Aksi BEPS 2 (Hybrid Mismatch Arrangements), Rencana Aksi BEPS 6 (treaty abuse), Rencana Aksi BEPS 7 (Avoidance of Permanent Establishment Status), dan Rencana Aksi BEPS 14 (Dispute Resolution).
Adapun BEPS 2—yang disebut Neutralizing the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements—secara khusus ditujukan untuk menetralkan perlakuan perpajakan akibat perbedaan pandangan antarnegara dalam melihat suatu entitas, instrumen, atau transaksi yang berakhir pada double non taxation.
Dengan menandatangani MLI, suatu negara dapat memodifikasi ketentuan P3B dengan rekomendasi MLI tanpa mengubah P3B satu per satu secara bilateral. Dengan demikian, rencana aksi menjadi lebih efisien mengingat hingga saat ini ada lebih dari 3000 P3B di dunia—dan untuk mengubahnya satu per satu akan sangat memakan waktu dan biaya.
Indonesia dan 68 negara lainnya telah menyatakan kesediaan untuk bergabung dengan MLI melalui penandatanganan naskah MLI oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 7 Juni 2017 di Kantor Pusat OECD, Paris, Prancis.
Rencana aksi BEPS juga memberikan rekomendasi yang berfungsi untuk memperkuat ketentuan domestik Indonesia seperti Controlled Foreign Company Rules (CFC rule), Debt to Equity Ratio Rules (DER), ketentuan terkait Transfer Pricing (TP) yaitu TP Documentation dan Country by Country Report (CbC-R).
CFC dan DER merupakan salah satu bentuk Special Anti Avoidance Rules (SAAR) Indonesia yang ada dalam Pasal 18 UU PPh. Dalam konteks pencegahan dan pengelakan pajak, kedudukan GAAR dan SAAR adalah saling melengkapi.
Kaitan P3B dengan Ketentuan Domestik Dasar hukum pembentukan P3B diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Pajak Penghasilan. Di situ pemerintah Indonesia diberikan kewenangan untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam hal penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Namun, bentuk perjanjian ini tidak terbatas pada P3B saja. Jenis perjanjian lainnya dapat berupa Tax Information Exchange Agreement (TIEA) atau perjanjian multilateral—Indonesia turut berpartisipasi, yakni MCAA dan Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MC).