Menanti Efek Suntikan Dana Rp200 Triliun, Menteri Keuangan Minta Publik Sabar

- Menteri Keuangan meminta masyarakat bersabar melihat dampak penempatan dana Rp200 triliun di Himbara.
- Penempatan dana membuat bank memiliki likuiditas lebih besar yang harus segera disalurkan.
- Skema ini merupakan bagian dari intervensi kebijakan fiskal dan moneter yang bertujuan menjaga stabilitas perekonomian.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah resmi menggelontorkan dana Rp200 triliun ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebagai stimulus untuk menggenjot likuiditas perbankan. Kebijakan ini dirancang menekan suku bunga kredit dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, meminta masyarakat bersabar karena implikasi dari kebijakan tersebut baru akan terasa dalam satu hingga dua pekan ke depan, dengan potensi dampak yang lebih signifikan berlanjut hingga tiga bulan mendatang.
Purbaya menjelaskan, injeksi likuiditas ini akan mendorong perbankan segera menyalurkan dana tersedia.
“Kalau dana hanya mengendap, bank akan rugi karena ada cost of capital. Mau tidak mau, mereka akan menyalurkan, baik ke proyek-proyek unggulan maupun ke pasar antarbank. Akibatnya, bunga pinjaman bisa turun, biaya modal turun, dan permintaan kredit naik,” ujarnya kepada pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jumat (19/9).
Ia menekankan turunnya suku bunga kredit akan berdampak positif pada perekonomian. Kondisi ini diharapkan dapat mendorong perusahaan lebih berani melakukan ekspansi, sementara konsumen terdorong meningkatkan belanja.
“Kalau deposito bunganya turun dari 5 persen jadi 2 persen, masyarakat tidak ragu untuk membelanjakan uangnya. Itu akan mendorong demand, dan perusahaan juga merespons dengan meningkatkan supply. Mekanisme ini sudah pernah diuji, termasuk saat pandemi 2021, dan terbukti efektif menjaga ekonomi kita,” ujarnya.
Alokasi dana Rp200 triliun tersebut didistribusikan kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI) yang masing-masing mendapat jatah Rp55 triliun. Sementara itu, Bank Tabungan Negara (BTN) memperoleh Rp25 triliun, dan Bank Syariah Indonesia (BSI) menerima Rp10 triliun.
Menanggapi potensi risiko kredit bermasalah atau fiktif, Purbaya menilai mekanisme internal perbankan akan menjadi filter utama.
“Dana Rp200 triliun itu bukan free money. Bank bebas menyalurkan sesuai keahliannya. Kalau sampai ada kredit fiktif dan ketahuan, pasti akan ditindak,” ujarnya.
Purbaya menambahkan, skema ini merupakan bagian dari intervensi kebijakan fiskal dan moneter yang bertujuan menjaga stabilitas perekonomian sekaligus mendorong pertumbuhan.
“Efeknya tidak instan, tapi hampir pasti akan terlihat dalam dua minggu ke depan, dan semakin nyata dalam beberapa bulan,” katanya.
Sebagai konteks, kebijakan ini hadir di tengah data Bank Indonesia yang mencatat nilai kredit yang belum dicairkan (undisbursed loan) per Agustus 2025 mencapai Rp 2.372,11 triliun. Angka ini setara 22,71 persen dari total plafon kredit yang tersedia, dengan rasio terbesar berasal dari sektor industri, pertambangan, dan perdagangan untuk jenis kredit modal kerja.