LPS Pertimbangkan Besaran Iuran Penjamin Polis Berbasis Risiko
- LPS mempertimbangkan besaran iuran penjamin polis berbasis risiko
- Mayoritas otoritas penjamin polis global menerapkan sistem premi tetap atau flat
- Data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan peserta menjadi dasar penentuan penjaminan polis LPS
Jakarta, FORTUNE — Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tengah menggodok besaran iuran penjaminan polis yang akan dibayarkan oleh pelaku industri dalam rangka menjalankan amanat baru dalam aturan Undang-Undang nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Seperti diketahui, LPS tidak hanya menjamin simpanan di bank melainkan juga menjamin polis masyarakat di asuransi melalui Program Penjaminan Polis (PPP).
Anggota Dewan Komisioner Bidang Program Penjaminan Polis LPS, Ferdinan D. Purba menjelaskan, pihaknya saat ini sedang mempertimbangkan opsi penerapan sistem iuran atau premi berbasis risiko atau premi diferensial dalam beberapa tahun ke depan, hal ini sebagai bentuk dorongan dan insentif bagi perusahaan asuransi yang menerapkan praktik manajemen risiko yang baik dan prudent.
“LPS sedang mengkaji produk atau lini usaha yang akan dijamin dalam PPP, dengan pertimbangan antara lain karakteristik produk, loss ratio, dan market share,” kata Ferdinan melalui keterangan resmi di Jakarta, Jumat (7/11).
IFIGS : mayoritas iuran penjamin polis global bersifat flat

Berdasarkan survei The International Forum of Insurance Guarantee Schemes (IFIGS), mayoritas otoritas penjamin polis global menerapkan sistem premi atau iuran secara tetap atau flat. Untuk itu, Ia menyebut nantinya salah satu elemen kunci dalam penyelenggaraan PPP yang kredibel adalah ketersediaan data polis berbasis pemegang polis, tertanggung dan peserta.
Data polis tersebut didefinisikan sebagai informasi menyeluruh yang mencakup detail mengenai pemegang polis, tertanggung dan cadangan, nilai klaim serta manfaat yang dijamin oleh LPS sesuai dengan ketentuan PPP.
“UU P2SK mewajibkan perusahaan asuransi, untuk menyampaikan data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta kepada LPS. Data inilah yang akan menjadi dasar bagi LPS dalam menentukan polis yang berhak mendapatkan penjaminan atau layak bayar,” tambahnya.
Sebagai contoh, Ferdinan menjelaskan, Korea Selatan, Kanada, Inggris dan Malaysia yang menerapkan penjaminan polis juga terbukti meningkatkan kepercayaan publik, mempercepat penanganan asuransi gagal, serta memperkuat stabilitas sektor asuransi.
“Negara-negara tersebut mampu mendorong penguatan manajemen risiko, transparansi, serta tata kelola industri yang lebih baik,” ujarnya.
Dia juga menyatakan, keberadaan PPP merupakan bagian dari recovery & resolution framework yang komprehensif untuk menghadapi skenario terburuk atau opsi terakhir dari kegagalan perusahaan asuransi. Aturan ini sekaligus berperan sebagai bagian dari financial safety net nasional, guna memastikan proses resolusi perusahaan asuransi berjalan dengan efektif. PPP diharapkan dapat berlaku maksimal di awal 2028.

















