Risiko Moral Hazard di Balik Guyuran Likuiditas Bank Rp200 T

- Menteri Keuangan menyalurkan Rp200 triliun ke Himbara
- Perlu ring-fencing untuk tutup celah moral hazard
- Banjir likuiditas berpotensi buat bengkak NPL
Jakarta, FORTUNE – Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mengguyur dana likuiditas Rp200 triliun ke sejumlah Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dinilai masih dibayangi oleh risiko moral hazard.
Hal itu diungkapkan Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta. Ia menilai, kebijakan menyalurkan dana yang diarahkan ke kredit sudah tepat, tetapi efektivitasnya bergantung pada bank apakah dapat menyalurkan ke sektor produktif bukan konsumtif.
Apalagi, Bank Himbara juga ditugaskan untuk mendanai Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP). Terlebih, para anggota Project Management Officer (PMO) Koperasi Merah Putih masih akan disaring oleh Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop).
Apakah ini mampu menghela kredit ke sektor produktif, atau justru membuka ruang moral hazard yang kelak menghantam kesehatan sistem keuangan. Ini penting karena kebijakan berukuran jumbo kerap menggoda eksekusi,” kata Achmad kepada Fortune Indonesia di Jakarta, Senin (15/9).
Ia menjelaskan, likuiditas perbankan relatif longgar dengan LDR 86,54 persen namun laju pertumbuhan kredit belum sebanding dengan kebutuhan pemulihan ekonomi. “Artinya, mesin ada tetapi pedal gas enggan diinjak. Dalam kondisi seperti ini, injeksi Rp200 triliun ibarat menambah turbo pada mobil yang sedang ragu-ragu. Dorongan ekstra bermanfaat bila pengemudinya paham rute. Jika tidak, tenaga besar justru meningkatkan risiko selip di tikungan,” kata Achmad.
Tutup celah moral hazard dengan ring-fencing

Selain itu risiko efek samping dari banjirnya likuiditas juga akan berdampak negatif terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah. Ia menilai, aliran kredit ke sektor riil memang bisa mempercepat pertumbuhan, tapi jika kapasitas produksi tidak ditambah dengan cepat, bisa muncul tekanan inflasi.
“Apalagi bila demand kredit nol alias publik berpikir tidak ada keuntungan jangka pendek dengan penambahan satu unit kredit baru karena daya beli belum tumbuh. Dan akhirnya suplai likuiditas perbankan tidak ada gunanya atau sia-sia malah menjadi permainan dana baru para eksekutif perbankan untuk memperkaya diri,” katanya.
Dengan demikian, untuk menutup celah moral hazard, lanjut Achmad, perlu dilakukan ring-fencing oleh Kementerian Keuangan dan regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia menyatakan, perlu adanya porsi kredit minimal untuk ekosistem KDMP, Makan Bergizi Gratis (MBG) dan sektor perumahan yang terverifikasi. Selain itu, seluruh pihak yang terlibat juga harus melakukan publikasi yang transparan ke masyarakat.
“Terapkan risk sharing yang sehat—penjaminan pemerintah terbatas pada kelas risiko yang punya externalities tinggi—agar bank tetap memegang sebagian risiko dan selektif memilih debitur,” jelasnya.
Banjir likuiditas juga berpotensi buat bengkak NPL

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga mengkritisi kebijakan ini yang dikhawatirkan bakal berdampak terhadap beban kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) perbankan bila tidak disalurkan secara pruden.
"Lebih kepada pemahaman risiko. Sekarang Purbaya lebih mendorong lagi sisi moneter, sementara dari sisi stimulus pajak belum disentuh. Daya beli sedang turun, pengusaha mau pinjam uang ke bank buat apa? Pendekatan Menkeu harus diakui tidak biasa, tetapi belum teruji," kata Bhima
OJK mencatat kredit perbankan masih tumbuh 7,03 persen (YoY) menjadi Rp8.043,2 triliun pada Juli 2025. Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga dengan rasio NPL gross sebesar 2,28 persen dan NPL net 0,86 persen. Sementara itu, Loan at Risk (LaR) relatif stabil, tercatat 9,68 persen. Rasio LaR tercatat stabil seperti di level sebelum pandemi.