Pinisi Celestia Masuk Lis "World's Greatest Places 2025" Majalah Time

- Kapal ini mengusung muatan-muatan lokal Indonesia, dan bersanding dengan resor di India dan Cina.
- Pemilihan nama Celestia berasal dari kata bahasa Inggris yang artinya angkasa atau heavenly.
Jakarta, FORTUNE - Majalah Time baru saja mengeluarkan daftar tempat-tempat luar biasa yang patut dinikmati tahun ini dalam lis bertajuk “The World’s Greatest Places of 2025.” Pada daftar yang terbagi menjadi dua kategori sebagai ‘Places to Stay”, dan “Places to Visit” itu, ada nama dari Indonesia yang menempati kategori yang disebut pertama, yakni pinisi Celestia.
Kapal dengan tujuh kamar milik bersaudara Jason Tabalujan dan Jasmine Chong itu mengusung muatan-muatan lokal, seperti panel rotan dari Jawa, keramik Bali, serta teknik pembuatan asli Bulukumba, yang telah mendapat pengakuan UNESCO. Di Asia, Celestia bersanding dengan Raffles Jaipur (India), QT Singapore, hingga Anantara Koh Yao Tai Resort & Villas, Thailand.
Fortune Indonesia sempat berbicara dengan Jason mengenai proyek yang diinisiasi ketika pandemi COVID-19 merebak ini. Hasil wawancara telah disunting demi kejelasan dan kejernihan.
Apa yang memicu Anda membangun kapal ini?
Pandemi. Saya ada satu adik di New York, sementara saya di Jakarta. Waktu zaman pandemi, kita tidak bisa travel, jadi saya tidak bisa ketemu dan kumpul dengan keluarga.
Saya lalu mikir, kalau saya bangun sebuah kapal, keluarga bisa kumpul di situ. Apalagi waktu pandemi kemarin itu, kami kepikiran mungkin dunia akan berakhir gitu. Jadi, sebelum dunia berakhir, kami mau menikmati keindahan alam di Indonesia.
Kenapa inisiatifnya bikin kapal?
Saya pernah ke Maladewa. Biodiversitas di sana kaya, tapi Indonesia sangat kaya. Saya lihat, Indonesia indah banget, tapi tim marketing Maladewa cukup jago.
Kalau istilah di investasi, value Indonesia belum di-unlock. Ada nilai yang belum dinikmati oleh yang punya. Pulau-pulau di Indonesia yang punya adalah kita semua.
Saya juga perhatikan ada orang Indonesia yang lebih menikmati keindahan di luar negeri. Indonesia ada alam [keindahannya] kelas dunia, tapi banyak orang Indonesia [memilih] ke luar negeri. Itu yang saya tidak paham. Kenapa kita harus ke Lake Como, atau ke Jepang saja misalnya, tanpa menjejaki keindahan alam di negeri sendiri?
Saya bangun kapal supaya, satu, keluarga bisa berkumpul. Kedua, [orang bisa menikmati] Indonesia yang mempunyai keindahan alam luar biasa. Dan ketiga, saya suka kegiatan outdoor.
Apa alasan pemilihan nama Celestia?
Nama Celestia itu asal usulnya dari kata bahasa Inggris, celestial, yang artinya angkasa atau heavenly. Kayak surga, gitu. Jadi kami pilih nama itu karena kalau Anda berada di laut, di atas kapal, karena enggak ada pencemaran lampu, semua bintang muncul. Jutaan. Jadi kalau Anda ada di tengah laut, Anda bisa lihat jutaan bintang bintang itu.
Kenapa pilih Bulukumba sebagai tempat membangun kapal ini?
Di sana memang tempat pembuatan pinisi. Beberapa tahun yang lalu, saya juga menemukan bahwa proses pembuatan pinisi itu sudah masuk daftar UNESCO.
Anda memang punya jaringan di sana?
Saya dapat lewat Google. Kalau Anda googling, Anda bakal tahu. Setelah itu, saya mulai networking. Lalu, dikenalin ke satu orang yang tahu mengenai pembuatan kapal. Semakin sering saya ke sana, semakin banyak kenalan saya di sana. Karena Bulukumba itu kampung, saya ke sana 3-4 kali saja orang sana sudah tahu wajah saya.
Awalnya saya tidak punya network sama sekali. Tapi sebagai investor, saya sabar. Kalau saya mau melakukan sesuatu, tentunya bukan pencet satu tombol langsung jadi. Semua adalah proses. Jadi saya ke sana, saya kenal. Coba untuk ajak ngobrol [orang-orang di sana], haji-haji yang membuat kapal. Lama-lama saya kenal hampir semua haji di sana.
Waktu ke sana, Anda sudah siapkan desain kapalnya?
Belum. Tapi, [secara teknis] haji-haji di sana sudah tahu. Kalau misalnya panjangnya berapa, lebar dan dalamnya harus berapa mereka sudah tahu [spesifikasi pastinya] supaya kapal bisa terapung.
Interior kapal juga mereka yang mengerjakan?
Desainer interior dari Afrika Selatan, yang juga berdarah Belanda.
Sebelumnya Anda sudah kenal dia?
Itu ketemu dari googling juga. Jadi, bikin kapal googling, bikin interior googling.
Saya bikin kapal itu pakai feeling dan googling.
Awalnya Anda membuat kapal itu untuk keluarga, tapi kemudian jadi bisnis. Siapa audiens yang jadi target Anda?
Memang awalnya saya membuat kapal ini untuk keluarga saya, tapi tentunya kami enggak bakal di kapal 360 hari setahun. Paling 1, 2, atau 3 bulan.
Setelahnya, supaya kapal itu dipakai ketika kami sudah enggak pakai, lebih baik teman-teman pakai atau kami sewakan.
Intinya sih kami merancang kapal ini untuk keluarga. Kebetulan, yang banyak sewa kapal saya adalah, salah satunya, tamu yang punya keluarga multi-generational.
Kamar di kapal itu ada tujuh, dan okupansinya bisa 14 orang. Jadi, isinya bisa untuk keluarga yang mencakup kakek-nenek, hingga anak-cucu.
Bisa Anda jelaskan rutenya?
Ketika kita mengalami musim hujan, yaitu Oktober sampai Maret, kapalnya ke Raja Ampat. Terus dari April sampai September, kapalnya balik lagi ke Lombok, Komodo, Bali, Sumbawa.
Karena Indonesia luas, kami bisa berlayar 12 bulan setahun, kecuali mungkin sebulan untuk maintenance dan dry docking.
Di luar negeri, kalau musim dingin datang, kapal tidak bisa dipakai. Hanya bisa pakai kapal itu di musim panas.
Apa tantangan untuk menjalankan rute itu?
Cuaca, dan mungkin logistik.
Setiap kali ada trip, kami harus pastikan BBM cukup. Makanan, minuman, dan lain-lain cukup.
Pasarnya bagaimana?
Segmentasi paling besar itu dari Amerika Serikat. Amerika cukup jauh, tapi negaranya cukup besar juga. 300 juta penduduk, dan banyak yang suka diving, dan menghargai keindahan alam di Indonesia—karena di sana mereka enggak punya.
Bisa cerita bagaimana bisa menjadi bagian dari ajang Golden Globe Awards?
Adik saya desainer fesyen di New York. Dia sudah tahu media, dan dia tahu segmentasi kapal saya di luxury. Seperti hotel yang ada bintang limanya, kapal saya semacam hotel bintang lima itu.
Untuk penetrasi segmentasi tersebut, adik saya awalnya bekerja sama dengan desain interior kami. Sebab, kami harus memastikan finishing-nya bintang lima.
Tapi, bukan hanya itu. Dari segi pemasaran dan PR, dan media relations, adik saya juga ada kanal-kanalnya. Sebelum kapalnya selesai, kami sudah melakukan pre-marketing. Sudah melakukan marketing activity.
Karena itu, pada saat kapalnya sudah jadi, sudah lumayan ternama. Setidaknya sudah masuk majalah tertentu. Dari situ, karena kami sudah bangun nama dan reputasi Celestia, malah Golden Globes yang menghubungi kami. Mereka tanya apa kami mau dimasukkan ke gift bag Golden Globes Awards, untuk pemenang dan presenternya.
Kapan kali pertama Celestia berpartipasi?
Kalau enggak salah, mereka kontak November 2023. Itu untuk partisipasi di Golden Globe, Januari 2024.
Pernah mengalami kendala yang bikin pusing kepala?
Tiap kali kapal harus dry dock, itu lumayan pusing karena kami harus pastikan semua mesin, semua alat yang kami punya kami maintain dengan baik. Jadi, daftarnya lumayan panjang. Tapi, itu normal. Kami sudah biasa dengan itu.
Yang sempat bikin pusing juga adalah crossing, melintasi lautan Banda yang sangat luas. Karena umumnya, musim Komodo bisa dibilang April sampai September. Intinya, Oktober kami crossing dari Labuan Bajo ke Raja Ampat. Itu kan melewati lautan Banda yang luas. Kalau lagi crossing dan cuaca tiba-tiba berubah di pertengahan laut, itu bikin pusing.
Kami perlu kapten yang bagus. Tentunya di Celestia, dari awal kami sudah punya sistem navigasi yang bagus. Dan kami dari dulu sudah punya Starlink. Jadi Celestia ke mana saja, saya bisa cek di handphone.
Menurut Anda, apa yang harus orang pegang untuk terjun ke bisnis ini?
Harus punya passion untuk memamerkan keindahan alam Indonesia ke dunia. Karena, intinya, banyak tamu kita dari luar Indonesia dan mereka mau ke Indonesia untuk melihat terumbu karang dan ikan-ikan Indonesia—yang mereka enggak bisa lihat di negara mereka.