Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

DEN Ungkap Dua Kekhawatiran Bila Garis Kemiskinan Indonesia Direvisi

Potret masyarakat miskin. (Flickr)
Potret masyarakat miskin. (Flickr)
Intinya sih...
  • Pemerintah Indonesia tengah mengkaji ulang metode perhitungan garis kemiskinan nasional sejak 1998
  • Bank Dunia menaikkan ambang kemiskinan ekstrem dari US$2,15 menjadi US$3,00 PPP per hari
  • DEN mendesak revisi garis kemiskinan nasional dengan alasan standar hidup masyarakat telah berubah
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Rencana pemerintah merevisi metode perhitungan garis kemiskinan nasional yang telah usang sejak 1998 menghadapi tantangan serius. Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengungkap dua kekhawatiran utama yang menghambat proses tersebut: potensi lonjakan angka kemiskinan yang dipolitisasi dan penambahan beban anggaran bantuan sosial.

Dorongan untuk revisi ini semakin mendesak setelah Bank Dunia secara resmi menaikkan standar kemiskinan global.

Anggota DEN, Arief Anshory Yusuf, menjelaskan kekhawatiran pertama terkait dampak politik jika angka kemiskinan melonjak tajam setelah metode baru diterapkan.

“Padahal [angka kemiskinan] ini bisa diantisipasi dengan edukasi publik dan penerbitan paralel dua versi data selama masa transisi,” kata Arief kepada pers, Rabu (11/6).

Kekhawatiran kedua, dia melanjutkan, adalah potensi membengkaknya anggaran bantuan sosial (bansos). Namun, Arief menilai hal ini kurang beralasan karena penyaluran bansos tidak bergantung sepenuhnya pada angka kemiskinan resmi.

“Mayoritas program bantuan sosial kita tidak langsung memakai angka kemiskinan resmi, tapi menggunakan sistem pensasaran seperti Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang lebih komprehensif,” ujarnya.

Urgensi revisi ini menguat setelah Bank Dunia pada 6 Juni lalu resmi mengoreksi ambang kemiskinan ekstrem dari US$2,15 menjadi US$3,00 PPP (Purchasing Power Parity) per hari. Dengan nilai tukar PPP 2024 sebesar Rp6.071 per dolar AS, ambang batas baru ini setara dengan Rp546.400 per bulan.

Implikasinya, jika standar internasional ini diterapkan, angka kemiskinan ekstrem di Indonesia berpotensi melonjak dari 1,26 persen menjadi 5,44 persen. Angka ini setara dengan 12 juta orang tambahan yang masuk dalam kategori miskin ekstrem.

Arief menegaskan perubahan ini seharusnya tidak dilihat sebagai tanda Indonesia semakin miskin, melainkan sebagai sebuah peringatan.

“Ini jadi alarm bahwa garis kemiskinan nasional kita, yang saat ini hanya Rp595.000 per bulan, nyaris sejajar dengan standar kemiskinan ekstrem global,” katanya.

Menurut Arief, pemerintah bersama Badan Pusat Statistik (BPS) tengah memproses penyempurnaan metodologi baru dengan target dapat digunakan mulai tahun ini.

DEN memaparkan sedikitnya lima alasan kuat mengapa revisi garis kemiskinan nasional telah mendesak untuk dilakukan:

  1. Standar terlalu rendah: Garis kemiskinan nasional saat ini (Rp595.000/bulan) terlalu dekat dengan ambang batas kemiskinan ekstrem global (Rp546.400/bulan), sebuah standar yang semestinya hanya digunakan oleh negara-negara berpendapatan terendah.

  2. Perubahan standar hidup: Standar hidup masyarakat telah berubah drastis sejak metodologi terakhir diperbarui pada 1998.

  3. Tertinggal dari negara setara: Malaysia telah merevisi standarnya pada 2018 dan Vietnam pada 2021. Indonesia berisiko menggunakan data usang yang tidak lagi relevan untuk perbandingan internasional dan penyusunan kebijakan.

  4. Arah kebijakan yang menyesatkan: Indikator yang tidak akurat dapat membuat kebijakan pengentasan kemiskinan salah sasaran, karena tidak menjangkau kelompok yang benar-benar membutuhkan.

  5. Merusak kepercayaan publik: Garis kemiskinan yang terlalu rendah dapat melunturkan kepercayaan publik terhadap statistik resmi pemerintah, yang pada akhirnya dapat merusak kredibilitas pemerintah secara keseluruhan.

Arief menyatakan, idealnya Indonesia perlu mengadopsi ambang batas untuk negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income country/LMIC) yang ditetapkan Bank Dunia, yakni US$4,20 PPP atau Rp765.000 per bulan.

Angka ini dianggap lebih realistis dan masih lebih rendah dibandingkan ambang batas negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC) yang bisa mencapai Rp1,5 juta per bulan.

Jika standar baru ini digunakan, angka kemiskinan nasional diperkirakan dapat melonjak hingga sekitar 20 persen.

“Ini akan lebih mencerminkan kondisi riil masyarakat dan membuka ruang kebijakan yang lebih tajam dan tepat sasaran,” kata Arief.

DEN menekankan bahwa revisi garis kemiskinan bukanlah langkah memperburuk citra bangsa, melainkan sebentuk kejujuran nasional demi memastikan pembangunan lebih inklusif.

“Jika garisnya terlalu rendah, kita terjebak dalam ilusi kemajuan. Revisi adalah upaya jujur untuk memastikan arah pembangunan tetap tepat sasaran dan kebijakan ekonomi benar-benar inklusif,” ujarnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us