Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

JATAM: UU Minerba Tergesa-Gesa, Masih Banyak RUU Mendesak

Ilustrasi Rapat Paripurna di DPR RI (dpr.go.id)
Intinya sih...
  • JATAM menilai DPR hanya menjadi panggung sirkus atas disahkannya RUU Minerba menjadi UU tanpa partisipasi publik.
  • Proses revisi UU Minerba jauh dari kata transparan dan dilakukan secara ugal-ugalan serta tak termasuk dalam Program Legislasi Nasional.
  • Revisi UU Minerba dilakukan secara tertutup dan melanggar UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, serta mengakomodir peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada UU.

Jakarta, FORTUNE – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengindikasikan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) hanya menjadi panggung sirkus atas disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Minerba menjadi Undang-Undang (UU).

Untuk diketahui, DPR RI resmi mengesahkan RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi UU (UU Minerba). Revisi tersebut disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (18/2).

Sebelumnya, pada Senin (17/2), seluruh fraksi di DPR sudah menyetujui revisi ketiga UU Minerba bersama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta pemerintah yang diwakili oleh Menteri ESDM RI Bahlil Lahadalia dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.

Artinya, tak ada satu pun anggota DPR yang mengeklaim sebagai wakil rakyat, benar-benar bertindak mewakili rakyat, khususnya yang menjadi korban tambang selama puluhan tahun.

“Ini menjadi momentum bersejarah yang menguatkan indikasi gedung DPR hanya menjadi panggung sirkus bagi para pencoleng untuk bertransaksi kepentingan, utamanya kepentingan berbisnis sumber daya alam,” ungkap Juru Kampanye JATAM Alfarhat Kasman dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (19/2).

Tak masuk Prolegnas dan masih banyak RUU mendesak lainnya

ilustrasi gedung dpr (wikimedia commons/puspita nasution)

Lanjut dia, JATAM menilai bahwa proses revisi usulan DPR ini jauh dari kata transparan dan dilakukan secara ugal-ugalan dan sembrono. Selain tak melibatkan publik, agenda revisi UU Minerba tersebut tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Prolegnas Prioritas.

Pada 2024, DPR RI menetapkan 176 RUU masuk ke dalam Prolegnas 2024-2029. Sebanyak 41 di antaranya dikategorikan prioritas, tapi tak ada revisi UU Minerba di dalamnya.

Alfarhat mengatakan bahwa jika DPR RI benar-benar bertindak mewakili rakyat dan mendengarkan suara rakyat secara sungguh-sungguh, revisi UU Minerba tak akan memasukkan pasal-pasal bermasalah.

“Selain itu, masih banyak RUU mendesak yang perlu dikebut pengesahannya seperti Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang telah dirancang sejak 21 tahun lalu, RUU Masyarakat Adat, serta RUU Perampasan Aset yang kini berganti menjadi RUU Pemulihan Aset,” tutur dia.

Rapat revisi UU Minerba tertutup

Sementara itu, dalam rapat pleno pengambilan keputusan tingkat satu RUU Minerba, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan mengatakan pada Senin (17/2) bahwa revisi ini tak dibuat secara tergesa-gesa.

Namun, ujar Alfarhat, JATAM memandang tindak-tanduk DPR sebagai pengusul revisi menunjukkan sebaliknya. Panitia Kerja (Panja) RUU Minerba melakukan pengkajian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) bersama pemerintah dan DPD selama sepekan terakhir nyaris tanpa jeda.

“Menurut pantauan JATAM, rapat pembahasan DIM dan penyempurnaan redaksional isi RUU Minerba berlangsung pada 12-15 Februari hingga larut malam dan selalu berlangsung secara tertutup. Adapun RUU Minerba secara mendadak dibahas pertama kali di Baleg pada Senin, 20 Januari 2025, juga dilakukan secara tertutup di tengah masa reses,” beber Alfarhat.

“Keesokan harinya, Selasa, 21 Januari 2025, RUU ini ditetapkan menjadi usulan inisiatif DPR dalam rapat tertutup,” sambung dia.

Lebih lanjut Alfarhat, usulan ini dibawa ke dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis (23/1) yang secara resmi menyetujui RUU Minerba untuk dibahas menjadi UU. Tak sampai sebulan, pada Rabu (12/2), Baleg membentuk panja untuk membahas DIM dalam RUU Minerba yang diserahkan oleh pemerintah dan DPD dalam pertemuan tertutup.

JATAM: Revisi UU Minerba langgar UU Nomor 12 Tahun 2011

Ilustrasi Rapat Paripurna di DPR RI (dpr.go.id)

Selain itu, JATAM menilai penyusunan revisi UU Minerba telah melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengharuskan adanya keterbukaan, yang diatur dalam Pasal 5 UU 12/2011.

“Penyusunan revisi UU Minerba oleh gerombolan sirkus Senayan ini juga melanggar hierarki hukum yang tercantum dalam Pasal 7 (UU 12/2011). Sebab, revisi yang diajukan oleh DPR tersebut bertujuan untuk mengakomodir Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang mengatur pemberian jatah konsesi kepada ormas keagamaan,” ungkap Alfarhat.

“Artinya, pemerintah dan DPR sedang berupaya mengakomodir peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada UU agar seolah-olah memiliki legitimasi kepastian hukum. PP ini diakomodir dalam Pasal 60 (revisi UU Minerba) yang mengatur pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) batu bara kepada ormas keagamaan, yang kemudian diperluas kepada koperasi, perusahaan perorangan, serta badan usaha kecil dan menengah (UMKM),” imbuh dia.

Menurut JATAM, kata Alfarhat, pemberian WIUP kepada entitas bisnis ini dilakukan secara prioritas dengan dalih untuk menguatkan fungsi ekonomi ormas keagamaan, serta pemberdayaan koperasi dan UMKM. Selain itu, dibuka juga ruang untuk ikut mengelola tambang mineral seperti yang diatur dalam Pasal 51 revisi UU Minerba.

Revisi UU Minerba langgar asas lex superior derogat?

“Sehingga secara prinsip, penerbitan revisi UU Minerba untuk mengakomodir PP melanggar asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi). Penerabasan prinsip ini diduga sudah disepakati sebelumnya di luar rapat-rapat Baleg,” jelas Alfarhat.

“Ini menunjukkan DPR dan pemerintah telah bersepakat untuk mengangkangi dan menginjak-injak hukum yang berlaku di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” tandas dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yogama Wisnu Oktyandito
EditorYogama Wisnu Oktyandito
Follow Us