Koperasi Merah Putih Berpotensi Menjerat Kepala Desa dalam Masalah Hukum

- Koperasi Merah Putih berpotensi melanggar hukum
- Program ini dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan bertentangan dengan beberapa Undang-Undang, seperti UU Desa, UU Perkoperasian, UU Pelayanan Publik, hingga UU Tipikor.
- Laporan Celios mencatat 15 bentuk pelanggaran hukum yang berpotensi menjerat kepala desa, mulai dari penggunaan dana desa secara ilegal, gratifikasi jabatan, hingga penyalahgunaan koperasi untuk kampanye terselubung menjelang Pemilu 2029.
Jakarta, FORTUNE – Pelaksanaan program Koperasi Desa Merah Putih (Koperasi Merah Putih) masih menuai pro dan kontra di masyarakat. Program yang digagas untuk membangun perekonomian desa ini disinyalir berpotensi melanggar hukum. Tertuang dalam Instruksi Presiden No. 9/2025 serta sejumlah surat edaran lintas kementerian, program ini dinilai tidak memiliki pondasi hukum yang kuat.
Hal itu diungkapkan Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam laporannya. Laporan itu mengidentifikasi bahwa banyak ketentuan terkait program ini justru bertentangan dengan berbagai Undang-Undang (UU) seperti UU Desa, UU Perkoperasian, UU Pelayanan Publik, hingga UU Tipikor.
“Pembentukan koperasi ini tidak memiliki dasar hukum perundang-undangan yang kuat. Instruksi Presiden dan Surat Edaran bukanlah instrumen yang sah untuk membentuk lembaga baru yang mengelola dana publik,” ungkap M. Zakiul Fikri, Direktur Hukum Celios melalui keterangan resmi di Jakarta, Rabu (18/6).
Ketidaksesuaian ini tidak hanya berdampak administratif, namun juga membuka jalan terjadinya penyalahgunaan wewenang, pemerasan, dan pengalihan fungsi fiskal desa tanpa dasar hukum yang jelas.
Laporan Celios juga mencatat 15 bentuk pelanggaran hukum yang berpotensi menjerat kepala desa. Mulai dari penggunaan dana desa secara ilegal, gratifikasi jabatan, hingga penyalahgunaan koperasi untuk kampanye terselubung menjelang Pemilu 2029. Kepala desa yang terlibat bisa dikenakan sanksi mulai dari pemberhentian administratif, denda puluhan juta, hingga hukuman penjara seumur hidup, tergantung tingkat pelanggaran.
“Dana desa digunakan sebagai modal koperasi yang tidak jelas legalitas kewenangannya, lalu dijadikan jaminan untuk pinjaman ke bank Himbara. Padahal, desa memiliki hak untuk menentukan sendiri arah kebijakan ekonomi lokalnya. Tidak ada kewajiban hukum bagi desa untuk mengikuti program yang tidak memiliki dasar legal yang sah,” ungkap Fikri.
Koperasi Merah Putih berpotensi buat dana desa bocor Rp4,8 triliun

Peneliti Hukum Celios, Muhamad Saleh juga menjelaskan, terdapat dua fase utama pembentukan dan penyelenggaraan Koperasi Merah Putih yang mengandung risiko korupsi. Proses pembentukan kerap dilakukan secara formalitas administratif dengan penunjukan pengurus berdasarkan kedekatan politik.
Celah korupsi juga muncul dari penggunaan anggaran darurat (BTT) untuk pendirian koperasi dan pengadaan barang yang disesuaikan dengan alokasi, bukan kebutuhan riil masyarakat. Kementerian Koperasi mencatat, 80.002 unit Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes/Kel) telah terbentuk hingga awal Juni 2025.
Dalam skema penyelenggaraan, lanjut Saleh, koperasi yang dibentuk ini kerap fiktif atau tidak aktif, namun tetap menerima alokasi pinjaman miliaran rupiah dari bank milik negara. Celios mencatat potensi kebocoran dana desa sebesar Rp60 juta per desa per tahun, atau secara nasional dapat mencapai Rp4,8 triliun per tahun.