Peserta Asuransi Wajib Tanggung 10% Biaya Berobat, Berlaku Mulai 2026

- Peserta asuransi wajib tanggung minimal 10% biaya klaim rawat jalan dan inap, berlaku mulai 2026.
- Peserta harus bayar minimal 10% dan maksimal Rp300.000 (rawat jalan) atau Rp3.000.000 (rawat inap).
- Co-payment diterapkan pada asuransi kesehatan berbasis ganti rugi dan managed care.
Jakarta, FORTUNE - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan pada 19 Mei 2025. Regulasi akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026.
Salah satu poin yang disoroti dalam regulasi baru ini adalah pemberlakuan skema co-payment, sistem pembagian biaya pengobatan antara peserta dan perusahaan asuransi. Peserta asuransi wajib menanggung sebagian dari total biaya klaim, yaitu minimal 10 persen.
Ketentuan tersebut berlaku untuk layanan rawat jalan maupun rawat inap dengan batas maksimum yang telah ditentukan.
Mengenal skema co-payment
Dalam konteks asuransi kesehatan, co-payment adalah mekanisme di mana peserta menanggung sebagian dari biaya layanan kesehatan yang digunakan. Berdasarkan SEOJK tersebut, peserta atau pemegang polis wajib membayar:
Minimal 10% dari total pengajuan klaim
Maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan
Maksimal Rp3.000.000 untuk rawat inap.
Perusahaan asuransi termasuk yang berbasis syariah, diperbolehkan menetapkan batas co-payment yang lebih tinggi. Selama hal itu telah disepakati bersama peserta dan dicantumkan dalam polis.
Ketentuan pembiayaan juga berlaku untuk produk asuransi yang menerapkan skema koordinasi manfaat (coordination of benefits) dengan penyedia lain seperti BPJS Kesehatan. Nilai co-payment dihitung dari jumlah klaim yang menjadi tanggungan perusahaan asuransi.
Berlaku untuk produk Indemnity dan Managed Care
Skema co-payment dalam SEOJK ini diberlakukan untuk asuransi kesehatan berbasis ganti rugi (indemnity) maupun skema pelayanan kesehatan terkelola (managed care). Namun, untuk skema managed care, co-payment hanya diterapkan pada layanan di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.
Dengan demikian, tidak semua produk asuransi akan terdampak. Produk dengan manfaat tetap (fixed benefit) serta asuransi mikro bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dikecualikan dari ketentuan co-payment.
Tujuan penerapan co-payment
Menurut Ogi Prastomiyono selaku Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, penerapan co-payment bertujuan untuk meningkatkan transparansi. Tujuan lainnya, untuk mengurangi risiko moral hazard dan menjaga keberlanjutan bisnis asuransi kesehatan di Indonesia.
“Kewajiban pembayaran klaim oleh pemegang polis atau tertanggung diharapkan akan mendorong perilaku lebih bijak dalam memanfaatkan manfaat asuransi kesehatan,” ujar Ogi dalam keterangan resmi, Kamis (5/6).
Dengan adanya skema ini, peserta diharapkan lebih bijaksana dalam menggunakan layanan kesehatan yang dijamin oleh polis.
Masa transisi dan kepesertaan yang berlaku
Selain mengatur soal co-payment, SEOJK No. 7/2025 juga memuat sejumlah ketentuan penting untuk memperkuat ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.
Kewajiban memiliki Dewan Penasehat Medis (DPM): DPM terdiri dari dokter spesialis yang memberikan masukan terkait pelayanan medis dan mendukung proses utilization review.
Medical Check Up (MCU) untuk calon peserta: Perusahaan asuransi dianjurkan melakukan MCU dalam proses underwriting guna menilai risiko sejak awal.
Peninjauan ulang premi dan kontribusi (repricing): Premi dapat disesuaikan saat perpanjangan polis berdasarkan riwayat klaim peserta.
Penerapan digitalisasi data kesehatan: Untuk meningkatkan efisiensi biaya dan kualitas pelayanan medis.
Meski skema baru berlaku pada 1 Januari 2026, tapi hak dan kewajiban tetap mengikuti ketentuan lama hingga masa pertanggungan berakhir bagi polis aktif sebelum tanggal tersebut.
Untuk produk asuransi yang bersifat renewable term, perusahaan wajib menyesuaikan ketentuan paling lambat 31 Desember 2026. Hal ini berlaku asalkan sudah mendapat persetujuan atau dilaporkan ke OJK sebelumnya.