Riset: Perlambatan Pertumbuhan dan Investasi Bayangi Pasar Kerja Asia

Jakarta, FORTUNE - Perlambatan pertumbuhan ekonomi dan lemahnya arus investasi menimbulkan tekanan besar bagi pasar tenaga kerja Asia, terutama di kalangan anak muda. Tak hanya itu, meningkatnya otomatisasi dan kemajuan teknologi juga berperan dalam dinamika pasar tenaga kerja. Kondisi itu diungkap laporan terbaru Morgan Stanley Asia Economics bertajuk Asia Faces Rising Youth Unemployment Challenge. Kombinasi faktor tersebut terlihat nyata di Cina, India, dan Indonesia.
Morgan Stanley mengungkap, tingkat pengangguran muda di Asia rata-rata mencapai 16 persen, jauh di atas 10,5 persen di Amerika Serikat dan lebih tinggi dari pengangguran umum yang berkisar 2 hingga 7 persen. Tingkat pengangguran di Indonesia dinilai termasuk yang paling memprihatinkan di kawasan. Apabila dibandingkan dengan Cina, tingkat pengangguran muda mencapai 16,5 persen; di India 17,6 persen; dan di Indonesia 17,3 persen, tertinggi di Asia.
"Sebanyak 59 persen pekerjaan baru yang tercipta dalam satu dekade terakhir berada di sektor informal, banyak pekerja menerima upah di bawah standar minimum," kata Kepala Ekonom Asia Morgan Stanley, Chetan Ahya, dalam laporan tersebut.
Diperingatkan pula bahwa stagnansi investasi dan lemahnya pertumbuhan ekonomi memperburuk dinamika pasar tenaga kerja dan berpotensi memicu ketidakstabilan sosial. “Pembuat kebijakan harus melakukan reformasi untuk mengubah model pertumbuhan atau mengadopsi kebijakan redistributif guna menjaga stabilitas,” ungkapnya.
Di Indonesia, lemahnya arus investasi menjadi faktor utama yang menahan penciptaan lapangan kerja baru. Morgan Stanley mencatat rasio investasi terhadap PDB turun menjadi 29 persen, lebih rendah dari level prapandemi sebesar 32 persen. Ketidakpastian kebijakan turut membuat pelaku usaha menunda ekspansi dan belanja modal.
Dampaknya terlihat jelas di pasar tenaga kerja, di mana tingkat pengangguran muda mencapai 17,3 persen. Laporan itu juga menyoroti tingginya tingkat underemployment, seiring dengan fakta bahwa 59 persen lapangan kerja baru selama satu dekade terakhir muncul di sektor informal dengan upah di bawah standar minimum. Dengan proyeksi tambahan 12,7 juta penduduk usia kerja dalam sepuluh tahun mendatang, tekanan terhadap penciptaan pekerjaan formal dan produktif diperkirakan akan semakin besar.
“Dominasi Cina di sektor manufaktur dan dorongan India memperluas produksi membatasi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan ekspor sebagai motor penciptaan lapangan kerja,” demikian isi laporan itu.
Bagaimana di India dan Cina?
India, dengan usia median hanya 28,4 tahun, menghadapi tantangan besar karena pertumbuhan yang tidak cukup kuat untuk menyerap tenaga kerja baru. Laporan tersebut menyebut lapangan kerja di sektor pertanian melonjak ke level tertinggi dalam 17 tahun terakhir, mencapai 253 juta orang, meski kontribusinya terhadap PDB hanya 18 persen. Lonjakan ini mencerminkan meningkatnya setengah pengangguran sejak era Covid.
Sekitar 84 juta orang diperkirakan akan masuk ke angkatan kerja India dalam dekade mendatang, sementara tingkat partisipasi kerja stagnan di 60,1 persen. Morgan Stanley menilai penciptaan lapangan kerja tidak akan mampu mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja tanpa percepatan ekonomi.
India membutuhkan pertumbuhan PDB rata-rata 7,4 persen untuk menstabilkan pengangguran. Jika partisipasi kerja naik menjadi 63 persen, dibutuhkan pertumbuhan 9,3 persen, dan hingga 12,2 persen untuk mengurangi setengah pengangguran secara signifikan.
“India membutuhkan pertumbuhan yang lebih kuat di sektor industri dan ekspor untuk menyerap tenaga kerja yang terus meningkat,” tulis laporan itu. Ekspor manufaktur dinilai memiliki potensi besar dalam menciptakan lapangan kerja tambahan di sektor logistik dan transportasi.
Adapun di Cina, perlambatan ekonomi dan meningkatnya otomatisasi menekan pasar kerja bagi kaum muda. Tingkat pengangguran pemuda perkotaan (usia 16–24 tahun) naik menjadi 16,5 persen hingga Agustus 2025. Upah pemula stagnan seiring berkurangnya kesempatan kerja, di tengah tekanan deflasi yang berkepanjangan. Jumlah lulusan universitas melonjak 42 persen antara 2019–2024, sementara lapangan kerja berkurang 20 juta. “Ketidakseimbangan antara lonjakan jumlah lulusan dan lemahnya permintaan tenaga kerja mendorong pengangguran naik,” tulis Morgan Stanley.
Lembaga keuangan global tersebut menilai upaya pemerintah mengonsolidasikan industri lewat kampanye “anti-involution” dan memperluas otomatisasi justru dapat memperberat tekanan bagi pekerja muda.
Secara keseluruhan, negara-negara Asia menghadapi tekanan ganda, yakni perlambatan ekspor dan hambatan struktural akibat teknologi. Morgan Stanley memperingatkan bahwa tanpa peningkatan investasi dan reformasi pasar tenaga kerja, pemerintah mungkin harus bergantung pada kebijakan redistributif untuk menghindari gejolak sosial.
“Tantangan pengangguran muda di Asia terus memburuk meskipun ada perbaikan di permukaan. Jika reformasi tidak dipercepat, risiko terhadap stabilitas akan meningkat,” ungkap laporan Morgan Stanley.