Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Amerika Soroti Penggunaan QRIS & GPN di Indonesia

Ilustrasi belanja online
ilustrasi belanja online (pixabay.com/Preis_King)
Intinya sih...
  • AS kritik aturan switching domestik GPN BI, batasi kepemilikan asing 20% perusahaan yang ingin berpartisipasi di NPG.
  • QRIS juga jadi sorotan. Perusahaan AS khawatir tidak diberi informasi dan kesempatan untuk menyampaikan pandangan.
  • Peraturan baru sistem pembayaran BI batasi kepemilikan asing di perusahaan layanan pembayaran non bank hingga 85%.

Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali menyoroti kebijakan sistem pembayaran digital Indonesia yang diatur oleh Bank Indonesia (BI), terutama terkait Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

Hal ini tertuang dalam laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) pada akhir Februari 2025 lalu. Amerika Serikat menyoroti Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang GPN mewajibkan seluruh debit ritel domestik dan transaksi kredit yang akan diproses melalui lembaga switching NPG, yang mana berlokasi di Indonesia dan memiliki izin oleh BI.

Kritik terhadap aturan switching domestik GPN

USTR mengkritik peraturan BI tersebut membatasi perusahaan asing yang masuk ke Indonesia. Pasalnya, perusahaan asing perlu menjalin kerja sama dengan operator switch GPN Indonesia yang berlisensi bila melakukan pemrosesan transaksi ritel domestik.

“Peraturan ini memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% pada perusahaan yang ingin memperoleh pengalihan lisensi untuk berpartisipasi dalam NPG, melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi debit dan kartu kredit ritel domestik,” terang USTR, Senin (21/4/2025).

USTR mencatat bahwa persetujuan dari BI terhadap kerja sama ini bergantung pada seberapa besar perusahaan asing berkontribusi terhadap pengembangan industri nasional, termasuk melalui transfer teknologi.

Dinilai kurangnya konsultasi dengan pemangku kepentingan

Peraturan BI No. 21/2019 yang menetapkan QRIS sebagai standar nasional pembayaran berbasis QR juga menjadi sorotan.

USTR menyampaikan bahwa perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank-bank, mengungkapkan kekhawatiranya. Selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi informasi mengenai sifat perubahan potensial tersebut.

Bahkan, mereka tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan terkait sistem tersebut. Ini termasuk pandangan bahwa sistem bisa dirancang agar dapat berinteraksi secara lebih lancar dengan sistem pembayaran yang sudah ada.

Regulasi baru sistem pembayaran dan batasan kepemilikan asing

USTR juga membahas Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020 yang berlaku sejak Juli 2021 dalam rangka implementasi Cetak Biru Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Regulasi ini mengelompokkan sistem pembayaran berdasarkan risiko dan menetapkan skema perizinan baru.

Aturan ini membatasi kepemilikan asing di perusahaan layanan pembayaran nonbank (front-end) hingga 85%, dengan batasan maksimum 49% untuk saham dengan hak suara. Sementara itu, perusahaan infrastruktur sistem pembayaran (back-end) tetap dibatasi 20% untuk kepemilikan asing.

USTR menyebutkan bahwa terdapat kekhawatiran terkait minimnya konsultasi yang dilakukan sebelum aturan diberlakukan.

Dalam laporan tersebut juga disebutkan, pada Mei 2023, BI mewajibkan pemrosesan kartu kredit pemerintah dilakukan melalui GPN. BI juga memberlakukan ketentuan wajib penggunaan serta penerbitan kartu kredit untuk pemerintah daerah.

“Perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru ini akan membatasi akses terhadap penggunaan opsi pembayaran elektronik AS,” ungkap USTR.

Respons pemerintah Indonesia

Menanggapi berbagai sorotan tersebut, Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan bahwa pemerintah telah berkoordinasi dengan BI dan OJK untuk merespons kekhawatiran pemerintah AS.

“Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan BI, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika,” ujar Airlangga dalam konferensi pers yang digelar secara daring.

Meski begitu, Airlangga tidak merinci langkah lanjutan apa yang akan diambil oleh pemerintah. Hingga kini, BI belum memberikan pernyataan resmi terkait respons terhadap laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 milik AS.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ana Widiawati
EditorAna Widiawati
Follow Us