Freeport Proyeksikan Permintaan Tembaga Capai 40 Juta Ton di 2030

- Permintaan global tembaga diperkirakan mencapai 40 juta ton pada 2030, didorong oleh transisi energi bersih dan pembangunan infrastruktur energi terbarukan.
- Indonesia berpotensi menjadi produsen tembaga utama dunia.
- Hilirisasi tembaga memiliki tantangan besar karena biaya investasi untuk membangun fasilitas hilir sangat tinggi, meski Freeport Indonesia menjadi perusahaan tambang tembaga terintegrasi upstream–downstream terbesar di dunia.
Jakarta, FORTUNE - PT Freeport Indonesia (PTFI) memperkirakan permintaan global terhadap tembaga akan melonjak signifikan hingga 40 juta ton pada 2030. Hal ini didorong oleh transisi energi bersih dan masifnya pembangunan infrastruktur energi terbarukan di berbagai negara.
President Director PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, menyebut tembaga sebagai the future of minerals karena sekitar 65 persen penggunaannya ada pada penghantar listrik.
“Hampir seluruh negara berlomba-lomba membangun renewable energy. Jadi memang permintaan akan tembaga akan sangat tinggi sekali,” kata Tony dalam forum bertajuk Indonesia Green Mineral Investment Forum 2025 di Jakarta, Rabu (2/10).
Menurutnya, saat ini produksi tembaga dunia berada di kisaran 20–25 juta ton, sementara permintaan sudah melampaui angka tersebut. Kondisi ini berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan pasokan karena tidak ada penambangan baru berskala besar yang siap beroperasi dalam waktu dekat.
“Dengan kata lain, supply masih hampir sama, sementara demand meningkat luar biasa,” katanya.
Indonesia berpotensi jadi pemain utama
Tony mengatakan, Indonesia berpeluang besar menjadi salah satu produsen tembaga utama dunia. Saat ini, produksi nasional masih ditopang oleh dua perusahaan besar, yakni Freeport dan Amman Mineral. Jika tambang lain seperti Merdeka Copper, Gorontalo Minerals, dan Sumbawa Timur Mining mulai berproduksi, posisi Indonesia akan semakin kuat.
“Kami bisa memproduksi hingga 800 ribu ton tembaga saat beroperasi penuh. Jika digabungkan dengan Amman Mineral, produksi bisa mencapai 1,1 juta ton katoda tembaga. Itu sudah menempatkan Indonesia sebagai produsen nomor lima terbesar di dunia,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, Chili—produsen tambang tembaga terbesar di dunia—hanya menghasilkan 1,9 juta ton katoda meski menguasai 25 persen pasokan tambang global. Sementara itu, Cina memimpin produksi katoda dengan 12 juta ton, meski tidak memiliki tambang sendiri, melainkan mengimpor 50 persen konsentrat tembaga dunia.
Meski memiliki prospek cerah, Tony mengakui hilirisasi tembaga memiliki tantangan besar. Kendati memiliki nilai tambah dari konsentrat menjadi katoda, tetapi jumlahnya tidak sebesar nikel, sementara biaya investasi untuk membangun fasilitas hilir sangat tinggi.
“Ini jadi constraints bagi banyak perusahaan. Namun, kami sudah berkomitmen, dan sekarang Freeport Indonesia menjadi perusahaan tambang tembaga terintegrasi upstream–downstream terbesar di dunia,” kata Tony.