Banjir Klaim Asuransi Kesehatan Bebani Industri

- Rumah Sakit Terindikasi Kecurangan
- Overtreatment menyebabkan klaim asuransi kesehatan meningkat 29 persen, membebani pasien dan industri asuransi.
- Modus kecurangan meliputi manipulasi diagnosis hingga phantom billing oleh rumah sakit dan dokter.
Jakarta, FORTUNE – Sejumlah Rumah Sakit (RS) terindikasi melakukan kecurangan yang menyebabkan angka klaim asuransi kesehatan membumbung hingga 29 persen. Kondisi itu memunculkan dugaan terjadinya ‘overtreatment’ terhadap pasien. Bagaimana industri asuransi menghadapinya?
Kamila, 29, didera kecemasan saat ayahnya mengalami stroke progresif mendadak kejang-kejang pada Maret 2024 lalu. Berdiam di lorong instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit di Cibubur, Jakarta Timur, ia tak hanya memikirkan keselamatan sang ayah. Informasi dari pihak asuransi bahwa plafon manfaat untuk perawatan ayahnya telah habis semakin membebani Kamila.
Ia merasa rutin membayarkan premi asuransi penyakit kritis untuk sang ayah senilai Rp210.000 per bulan. Plafon Rp500 juta untuk rawat inap dan Rp500 juta untuk rawat jalan selama lima tahun dirasanya cukup saat mendaftar pada akhir 2019 lalu. Ternyata, semua manfaat yang dijanjikan itu habis, 9 bulan sebelum masa tanggungan asuransi.
Saat merinci pengeluaran asuransi, ia mendapati bahwa plafon asuransi ayahnya habis untuk biaya penebusan obat. “Obat itu dalam tiga bulan terakhir seperti banyak sekali dan terbilang mahal yang diresepkan dokter. Padahal saat ke apotek ada opsi obat lain yang murah dan generik,” cerita Mila kepada Fortune Indonesia, beberapa waktu lalu. Tak ditanggung asuransi swasta, Mila akhirnya beralih ke BPJS Kesehatan untuk perawatan sang ayah.
Kamila tentu bukan satu-satunya pengguna asuransi yang menaruh curiga. Tak hanya pada asuransi swasta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juli 2024 sempat mengungkap temuan fraud senilai Rp35 miliar dari klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tiga rumah sakit yang menjadi percontohan di tiga provinsi di Indonesia.
Modusnya pun beragam, mulai dari manipulasi diagnosis hingga phantom billing. Lebih parahnya lagi, beberapa rumah sakit bersekongkol dengan oknum dokter untuk membuat dokumen fiktif dari pasien meski tidak memiliki catatan medis. Dari temuan tersebut, sejumlah layanan yang rentan untuk dimanipulasi di antaranya ialah operasi katarak, fisioterapi medis hingga pemberian obat-obatan.
Pengamat industri medis dan keuangan, S. Budisuharto mengatakan, modus manipulasi diagnosis memang jamak dilakukan oleh oknum-oknum dokter yang melakukan praktik di klinik hingga rumah sakit. “Biasanya overtreatment dilakukan oleh seorang dokter,” ujarnya (14/8).
Tindakan tersebut, menurutnya, bisa menguntungkan sang dokter secara pribadi, klinik atau rumah sakit tempatnya praktik atau perusahaan farmasi. “Rumah sakit atau klinik sebenarnya sadar bahwa ada obat yang lebih murah. Tetapi, karena si dokter itu kemungkinan mendapatkan janji atau suatu keuntungan dari pabrik obat, mereka meresepkan obat-obat yang lebih mahal,” katanya.
Sementara itu, pengamat asuransi sekaligus Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (KUPASI), Wahyudin Rahman, juga menyoroti bahwa fenomena ini dapat mengurangi tingkat kepercayaan kinerja asuransi di tengah inklusi yang masih di angka 16,63 persen pada 2022. “Overtreatment di asuransi kesehatan dapat menjadi ancaman bagi kinerja industri asuransi karena dapat meningkatkan biaya operasional, mengurangi profitabilitas, dan merusak reputasi perusahaan,” katanya, (21/8).
Siasat perusahaan asuransi

Industri asuransi menjadi pihak yang paling dirugikan akibat adanya overtreatment. Hal itu tercermin dari angka klaim asuransi kesehatan yang menggunung hingga Rp5,96 triliun pada kuartal I-2024 atau naik 29,6 persen secara year on year (YoY) bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka ini melonjak dibandingkan tren sebelumnya yang hanya tumbuh kisaran 10 persen.
“Kondisi overclaim berpotensi menggerus pendapatan dan laba industri asuransi. Klaim yang tidak sesuai atau berlebihan dapat memengaruhi profitabilitas perusahaan asuransi dan berdampak negatif pada keuangan industri secara keseluruhan,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu kepada Fortune Indonesia (15/8).
Asosiasi pun sempat melakukan survei singkat terhadap beberapa perusahaan asuransi yang memiliki produk asuransi kesehatan dan ditemukan bahwa penyakit typhoid atau tipes menjadi penyakit dengan nilai nominal klaim tertinggi di industri, disusul dengan breast cancer dan diarrhea. “Pengobatan thypoid, terutama jika sudah memasuki tahap parah atau komplikasi, dapat memakan biaya yang cukup besar. Ini mencakup biaya rawat inap, obat-obatan, dan perawatan lanjutan,” kata Togar.
Kenaikan klaim juga diyakini menahan laju pendapatan premi hingga menekan laba dari industri asuransi jiwa—yang memiliki produk asuransi kesehatan. AAJI bahkan mencatat rasio klaim asuransi kesehatan terhadap pendapatan premi untuk produk tersebut sudah mencapai 97 persen dan cenderung terus meningkat seiring dengan semakin tingginya angka klaim kesehatan. Hal ini menciptakan margin yang cukup besar antara pembayaran klaim dengan pendapatan preminya.
Hasilnya, laba dari industri asuransi jiwa pun ikut tergerus. Berdasarkan data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laba bersih komprehensif asuransi jiwa ambles 43,9 persen (YoY) menjadi Rp1,54 triliun pada kuartal I-2024.
Di antara pelaku yang mengalami indikasi overtreatment pada klaim asuransi kesehatan adalah Allianz Life Indonesia. Meski modus ini sulit untuk diterawang, setidaknya ada sebagian kecil klaim dari asuransi ini yang disinyalir terjadi overtreatment. Untuk itu, perusahaan asuransi asal Jerman ini melakukan berbagai langkah antisipasi. Salah satunya dengan melakukan analisis tinjau ulang setiap klaim dari nasabah.
Country Chief Product Officer Allianz Life Indonesia, Himawan Purnama, menegaskan bahwa pihak asuransi sejatinya tidak akan mempersulit proses pencairan klaim nasabah. “Jadi hampir sebagian besar atau 90 persen lebih daripada klaim di Allianz Life selesai dalam hitungan hari sebenarnya,” ujarnya (7/8). Asalkan, setiap data, dokumen dan rekam medis dari nasabah tersedia dengan baik. “Nah, kalau sebagian kecil ini yang sampai masuk ke dalam proses tinjau ulang, itu berarti ada sebuah indikasi (overtreatment). Apakah memang dokumennya tidak lengkap, atau ada indikasi lain.”
Dalam proses tinjau ulang ini, menurut Himawan, tim dari Allianz Life akan terjun langsung menghubungi rumah sakit hingga menelusuri rekam medis dari nasabah. Bahkan, Allianz Life juga melibatkan sejumlah tenaga dokter untuk menjadi tim investigasi. Bila seluruh data lengkap dan terkonfirmasi oleh pihak rumah sakit, maka klaim akan segera dibayarkan. Namun bila ada indikasi mencurigakan, perusahaan melakukan investigasi lebih mendalam dan tidak menutup kemungkinan bakal membatalkan klaim.
Selain itu, pihaknya juga menyiapkan tenaga agen pemasaran yang dilengkapi dengan infrastruktur digital yang dapat menganalisis dan menyeleksi setiap data nasabah mulai dari pendaftaran, underwriting hingga pembayaran klaim. “Dari hulu ke hilir kami punya, dari tim dokter, sistem deteksi otomotif sehingga tidak hanya mengandalkan mata saja. End-to-end process ini yang terus kami tingkatkan,” kata Himawan.
Tak hanya itu, tim eksternal Allianz Life juga terus menggencarkan komunikasi dan sosialisasi dengan rumah sakit rekanan, termasuk para dokternya untuk mencegah kecurangan. Tercatat, Allianz Life memiliki lebih dari 1.200 rumah sakit dan klinik, baik di dalam dan luar negeri.
Ia mengungkapkan, sepanjang 2023 saja Allianz Life telah membayarkan total klaim senilai Rp4,2 triliun atau masih dalam tren meningkat 12 persen secara tahunan. Kemudian, dilansir dari laporan keuangannya hingga Juni 2024, Allianz Life telah membayarkan total klaim dan manfaat senilai Rp2,01 triliun atau naik 3,72 persen (YoY). Dari angka tersebut, hingga 80 persen di antaranya merupakan klaim asuransi kesehatan.
Dengan kenaikan klaim yang tidak signifikan dan strategi penyaringan klaim pada paruh pertama 2024, laba bersih dari Allianz Life Indonesia masih tumbuh kuat hingga 425 persen (YoY) menjadi Rp457 miliar pada Juni 2024.
Meski demikian, bagi Himawan, fenomena overtreatment tidak hanya merugikan industri asuransi. Sebab, maraknya manipulasi dan distribusi obat secara masif akan berdampak terhadap harga dan inflasi medis secara nasional. Apalagi, berdasarkan perkiraan Mercer Marsh Benefits (MMB) Health Trends 2024, inflasi medis di Indonesia masih akan berada di kisaran 13 persen pada 2024.