Tarif Pajak Picu Tren Belanja Tas Branded Second

Jakarta, FORTUNE - Tarif impor AS sebesar 15 persen untuk produk dari Uni Eropa menjadi kabar buruk bagi merek-merek mewah yang sudah lebih dulu terpukul akibat pelemahan permintaan. Namun, kondisi ini justru menjadi berkah bagi pasar barang bekas, khususnya tas tangan mewah, yang tengah booming karena konsumen mencari alternatif yang lebih terjangkau.
Mereka kian ramai beralih ke platform penjualan kembali (resale), bukan hanya demi penghematan, tetapi juga karena faktor akses, keaslian, dan keberlanjutan. Dengan kenaikan harga yang terus terjadi di berbagai kategori—seringkali dipicu oleh merek seperti Hermès, Louis Vuitton, dan Chanel—produk mewah preloved kini menjadi jalan masuk yang lebih mudah bagi konsumen.
“Sektor ini relatif sehat. Bukan masalah permintaan, tapi pasokan. Jika ada barang mewah asli yang sah tersedia, konsumen pasti akan membeli, kata analis UBS, Jay Sole, menilik kinerja platform barang mewah The RealReal, mengutip WWD.
Tarif baru itu memperburuk tekanan inflasi dan lonjakan harga pasca-pandemi, yang sudah membuat harga ritel melambung tinggi. Namun bagi platform resale, hal ini justru memperlebar selisih harga antara produk baru dan preloved—perbedaan yang menguntungkan platform yang menjaga stabilitas harga jual rata-rata.
“Meski ada tarif baru 15 persen, harga jual rata-rata di pasar barang bekas tetap stabil—termasuk untuk tas tangan—sehingga produk secondhand menjadi alternatif yang lebih terjangkau ketika harga baru terus naik,” ujar Maximilian Bittner, CEO Vestiaire Collective.
Platform recommerce lain, Fashionphile, juga merasakan pergeseran ini. Permintaan mulai meningkat bahkan sebelum tarif baru disahkan. “Kami sudah melihat pergerakan awal—orang membeli sebelum harga naik, serta lebih banyak pemilik yang mulai menjual karena mengantisipasi biaya penggantian ritel yang lebih tinggi,” kata pendiri dan presiden Fashionphile Sarah Davis. Menurutnya, konsumen sangat responsif terhadap perubahan ini. Mereka menyesuaikan beli atau jual sesuai kondisi pasar dan pengumuman harga.
Kenaikan harga yang dilakukan Hermès dan Louis Vuitton di awal tahun juga memicu kepanikan pembelian. Sementara penjual justru cenderung menunggu dengan harapan harga tawaran akan meningkat. Sebagian konsumen yang sensitif terhadapp harga memang menahan diri dari pembelian baru, tapi tidak berarti meninggalkan segmen mewah.
Seiring tarif memperketat harga ritel, platform resale berada di posisi yang tepat untuk menangkap pergeseran ini. Meski ada ketidakpastian ekonomi dan perlambatan musiman, minat konsumen di pasar barang bekas tetap stabil. Bittner mengatakan, permintaan konsisten dari bulan ke bulan, menunjukkan ketahanan dan daya tarik pasar secondhand.
Merek apa yang paling dicari?
Merek-merek yang paling dicari di pasar resale masih sama di semua platform: Chanel, Hermès, Louis Vuitton, Dior, dan Gucci menempati puncak permintaan sekaligus nilai barang dagangan kotor (GMV).
Menurut Davis, bahkan di tengah kehati-hatian makroekonomi dan kritik viral soal harga—terutama setelah penyelidikan jaksa Italia yang mengungkap Dior membayar pemasok hanya 53 euro untuk merakit tas yang dijual lebih dari 2.600 euro di butik—harga resale tetap kuat. “Harga Dior tidak terpengaruh, bahkan untuk model book tote,” katanya.
Di saat yang sama, merek mewah asal AS seperti The Row dan Khaite yang lebih ‘niche’ justru mulai naik daun, menjadi gaya paling laris di Fashionphile.
Pergantian direktur kreatif di rumah mode besar—seperti Demna ke Gucci, Pierpaolo Piccioli ke Balenciaga, dan Matthieu Blazy ke Chanel—belum berdampak signifikan pada permintaan resale. Davis menilai para desainer belum meluncurkan koleksi di bawah peran barunya, sehingga belum memicu minat baru atau nostalgia konsumen. “Langkah catur para desainer sejauh ini belum menghasilkan dampak terukur pada permintaan atau awareness di pasar resale,” ujar Bittner.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa ketika koleksi baru debut di runway, minat resale biasanya melonjak. “Seorang desainer bisa membuat perbedaan besar. Kami sudah melihat desainer baru mendongkrak nilai resale bahkan untuk model lama yang sudah dihentikan. Saat Daniel Lee menghidupkan kembali Bottega [Veneta], itu bukan hanya membantu brand saat ini tetapi juga harga tas lama ikut terdongkrak,” jelas Davis.
Sebagai contoh, setelah Céline memperkenalkan kembali tas Phantom pada Juli, pencarian untuk model tersebut meningkat sepuluh kali lipat dibanding bulan sebelumnya, ungkap Bittner.
Kategori vintage kini muncul sebagai bintang baru, mewakili barang warisan dan rilisan era lama lebih dari 20 tahun. Bittner menyebut daftar produk vintage naik 220 persen dalam lima tahun terakhir, sementara pencarian untuk produk vintage melonjak lima kali lipat. Dengan harga tas vintage dari brand besar yang bisa serendah US$100, kategori ini menarik bagi pembeli aspiratif yang menghadapi ‘sticker shock’ produk baru.
Pada 4 September, Vestiaire meluncurkan kampanye “Vintage Pieces at Vintage Prices”, menawarkan tas heritage dengan harga asli—strategi untuk menjaring pembeli aspiratif yang sensitif harga. “Vintage icon punya daya tarik abadi yang sama dengan re-edition modern, dengan harga hingga 70 persen lebih murah,” kata Bittner.
Hal itu memang membuat resale tak hanya menarik, tetapi juga strategis. Namun, sensitivitas harga tetap menjadi tema utama. Ada pembeli yang berbelanja karena harganya sesuai dengan kemampuannya, tetapi ada konsumen yang menahan belanja besar untuk produk baru dan justru pindah ke preloved.
Menurut Sole, analis UBS, tantangan pasar resale bukan menjual barang, tapi memperolehnya. “Permintaan ada. Masalahnya pasokan,” katanya. Beberapa perkiraan menyebut ada potensi inventori senilai US$200 miliar di lemari konsumen AS—tinggal bagaimana membuatnya tersedia bagi pembeli resale yang menunggu. Situasi ekonomi saat ini, lanjutnya, bisa membantu mendorong hal itu. “Jika pemilik barang mewah yang punya banyak tas di lemari merasa ingin mengubahnya jadi uang tunai, itu akan sangat menarik. Itu bisa jadi katalis pertumbuhan,” ujarnya.