Kemenperin Tagih BYD dan Mobil Cina Lainnya Produksi Lokal

- Kemenperin menyatakan kewajiban produsen mobil listrik asal Cina untuk produksi lokal setelah insentif impor berakhir pada 2025.
- Peraturan Presiden menetapkan target TKDN 40 persen hingga 2026, naik menjadi 60 persen pada 2027–2029, dan 80 persen pada 2030.
- Populasi kendaraan listrik di Indonesia terus meningkat, sementara pangsa pasar kendaraan berbasis ICE merosot dari 99,64 persen pada 2021 menjadi 82,2 persen pada Januari–Juli 2025.
Jakarta, FORTUNE - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan kewajiban produsen mobil listrik, khususnya merek-merek asal Cina seperti BYD, Geely, Xpeng, Aion hingga GWM Ora, untuk mulai melakukan produksi lokal setelah masa insentif impor berakhir pada akhir 2025.
Selama ini, para produsen tersebut mendapatkan fasilitas impor completely built up (CBU) berupa pembebasan bea masuk dan PPnBM.
Namun, masa keringanan itu hanya berlaku hingga 31 Desember 2025. Mulai 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027, mereka diwajibkan membangun produksi di Indonesia dengan kuota setara jumlah mobil listrik yang sebelumnya diimpor.
“Dalam perjalanannya, perusahaan juga harus memerhatikan nilai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Dari 40 persen, harus secara bertahap naik menjadi 60 persen,” kata Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin, Mahardi Tunggul Wicaksono, dalam keterangannya, Rabu (27/8).
Kewajiban TKDN ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023, yang merevisi Perpres 55/2019 tentang percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Aturan tersebut menggariskan target TKDN 40 persen untuk periode 2022–2026, naik menjadi 60 persen pada 2027–2029, dan 80 persen pada 2030.
Tunggul menjelaskan, pencapaian TKDN tidak bisa dilakukan hanya dengan skema perakitan completely knocked down (CKD).
“Kalau masih tetap CKD, tidak akan tercapai angka 60 persen. Maka 2027 harus melalui skema incompletely knocked down (IKD), dan pada 2030 dicapai lewat manufaktur part by part,” katanya.
Hingga pendaftaran program ditutup pada Maret 2025, ada enam produsen yang masuk daftar penerima insentif impor CBU, yaitu BYD, Vinfast, Geely, Xpeng, National Assemblers (Aion, Citroen, Maxus, VW), dan Inchcape Indomobil Energi Baru (GWM Ora).
Dari keenamnya, tercatat rencana penambahan investasi hingga Rp15 triliun serta kapasitas produksi baru sebesar 305.000 unit.
Dua perusahaan, yakni Geely dan Xpeng, memilih bekerja sama dengan assembler lokal. Sementara itu, National Assemblers dan Inchcape memperluas kapasitas produksi, lalu BYD dan Vinfast berkomitmen membangun pabrik baru di Indonesia.
Populasi kendaraan listrik di Indonesia
Menurut Kemenperin, populasi kendaraan listrik di Indonesia terus meningkat. Pada 2024, jumlahnya mencapai 207.000 unit, naik 78 persen dibandingkan dengan 2023 yang mencapai 116.000 unit. Pangsa pasar hybrid electric vehicle (HEV) melonjak dari 0,28 persen pada 2021 menjadi 7,62 persen pada Juli 2025. Kemudian, battery electric vehicle (BEV) naik drastis dari 0,08 persen menjadi 9,7 persen pada periode yang sama.
Sebaliknya, pangsa pasar kendaraan berbasis pembakaran atau internal combustion engine (ICE) merosot dari 99,64 persen pada 2021 menjadi 82,2 persen pada Januari–Juli 2025.
“Ini menunjukkan adanya pergeseran preferensi konsumen ke kendaraan yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Kebijakan pemerintah mulai membuahkan hasil, dan transisi menuju transportasi rendah emisi berjalan ke arah yang tepat,” kata Tunggul.
Sementara itu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengakui, insentif BEV impor dalam rangka tes pasar sukses meningkatkan adopsi mobil ini di Indonesia.
Tetapi, hal ini menekan kinerja industri yang sudah lama eksis. Gaikindo menyatakan, utilisasi industri mobil turun dari 73 persen menjadi 55 persen tahun ini, seiring turunnya penjualan mobil domestik.
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, mengatakan penjualan mobil domestik turun menjadi 865.000 unit pada 2024 dibandingkan dengan 2014 yang mencapai 1,2 juta unit.
Tren ini berlanjut pada tahun ini, dengan Juli lalu terjadi penurunan penjualan mobil 10 persen menjadi 453.000 unit.
Kukuh menyatakan, penurunan penjualan mobil dipicu pelemahan daya beli dan mahalnya pajak mobil di luar BEV. Saat ini, tidak semua mobil dengan TKDN tinggi mendapatkan insentif. Sebaliknya, pemerintah malah memberikan insentif besar bagi BEV untuk menarik investasi
Dia menegaskan, kehadiran BEV impor menekan produksi mobil dalam negeri dengan TKDN tinggi, berkisar 80-90 persen. Itu artinya, BEV impor telah mengganggu keseimbangan industri.
“Banyak perusahaan komponen juga mengeluh, karena suplai ke pabrikan kurang. Untung mereka masih ada ekspor, sehingga masih bisa berjalan, tetapi ada sebagian yang sudah melakukan PHK,” katanya.