Soroti Rp30 Triliun Danantara ke Garuda, Pengamat: Tak Cuma Dana

- Rencana suntikan dana jumbo menuai perhatian publik dan pelaku industri.
- Dukungan Danantara mencakup pula penghadiran mitra strategis untuk mendukung restrukturasi Garuda Indonesia.
- Langkah Danantara itu merupakan mandat negara dalam memastikan keberlangsungan flag carrier nasional.
Jakarta, FORTUNE — Rencana suntikan dana Rp30,31 triliun dari PT Danantara Asset Management (Persero) ke PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) menuai perhatian publik.
Di balik angka jumbo tersebut, pengamat menilai dukungan Danantara tidak semata berurusan dengan pendanaan, melainkan juga soal menghadirkan mitra strategis yang mampu mendukung upaya restrukturasi maskapai penerbangan nasional tersebut.
Rencana itu akan diwujudkan melalui skema penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) atau private placement, sebagaimana tercantum dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI). Danantara akan melakukan dua mekanisme injeksi modal: penyetoran tunai dan konversi pinjaman pemegang saham (shareholder loan/SHL) menjadi saham baru.
Secara mendetail, dari total US$1,84 miliar atau sekitar Rp30,31 triliun itu, sebanyak US$1,44 miliar (Rp23,66 triliun) akan disetor tunai, dan US$405 juta (Rp6,65 triliun) akan dikonversi dari pinjaman pemegang saham.
Menurut Analis aviasi senior, Gatot Rahardjo, langkah Danantara harus dipandang dalam konteks lebih luas.
“Yang dibutuhkan Garuda bukan sekadar pendanaan, tetapi mitra yang mampu mendorong restrukturisasi menyeluruh,” kata Gatot dalam keterangan tertulis, Jumat (17/10).
Mantan anggota tim restrukturisasi Garuda Indonesia ini mengatakan sebagian armada Garuda kini masih tidak aktif karena keterbatasan biaya perawatan. Dukungan Danantara diharapkan dapat mengaktifkan pesawat yang menganggur, memperluas kapasitas produksi, dan meningkatkan efisiensi operasional berbasis teknologi.
Upaya penyehatan Garuda Indonesia
Sementara itu, langkah Danantara, menurut analis kebijakan publik Hendri Satrio, tak dapat dilepaskan dari mandat negara dalam memastikan keberlangsungan flag carrier nasional.
“Danantara menjalankan mandat ini bukan semata demi menyelamatkan Garuda Indonesia, tetapi demi menjaga kehormatan negara,” ujarnya.
Dalam konteks global, dia menegaskan pentingnya intervensi negara terhadap maskapai penerbangan nasional. Dalam dua tahun terakhir, sejumlah maskapai besar di dunia tumbang akibat tekanan biaya, harga avtur, dan perubahan pasar.
Jetstar Asia—anak usaha Qantas di Singapura—menutup operasinya pada Juli 2025. Air Belgium bangkrut pada April 2025. Flybe di Inggris kembali kolaps. Viva Air Colombia berhenti beroperasi pada Februari 2023, dan Voepass Airlines di Brasil kehilangan izin terbang karena masalah tata kelola.
Selain itu, Pan American Airways (PanAm) di Amerika Serikat dan Ansett Airlines di Australia. Keduanya pernah menjadi simbol kejayaan nasional, tapi akhirnya lenyap akibat ketidakhadiran negara saat krisis datang. Tanpa perlindungan, keduanya tidak sempat bertransformasi dan akhirnya ditinggalkan pasar.
“Menjaga keberlangsungan Garuda Indonesia berarti menjaga simbol, marwah, dan kedaulatan kita sebagai bangsa,” kata Hendri.