Menuju Lembaga Tunggal Pengelola Haji, Akankah Jadi Lebih Efisien?

Jakarta, FORTUNE - Di tengah pertumbuhan pesat dana kelolaan haji Indonesia yang telah mencapai Rp171,65 triliun per akhir 2024, tantangan kelembagaan dan efisiensi terus menjadi sorotan. Setiap tahun, sekitar 5,5 juta calon jemaah haji menunggu giliran, sementara antrean bisa mencapai puluhan tahun. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah sistem pengelolaan haji saat ini telah berjalan efektif dan adil?
“Setiap tahun jemaah haji dan umrah jutaan, tapi antrean bisa puluhan tahun. Ini bukan semata persoalan keuangan atau logistik. Kita lihat ada tumpang tindih regulasi dan ketidakseimbangan antara swasta dan pemerintah. Ada pertanyaan besar, apakah negara sudah melindungi jemaah dan sistem sudah dibangun profesional?" ujar Prof. Nur Hidayah, Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF, dalam diskusi publik bertajuk “Saatnya Reformasi Kelembagaan Haji dan Umrah”, yang disiarkan di kanal YouTube INDEF, Jumat (20/6).
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan catatan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), pada 2024 terjadi defisit hingga Rp7,5 triliun, di mana pendapatan setoran jemaah sebesar Rp12,39 triliun belum mampu menutup beban penyelenggaraan haji sebesar Rp19,90 triliun. Dana nilai manfaat yang semestinya menopang keberlanjutan, kini lebih banyak tersedot untuk menambal subsidi biaya jemaah.
“Kalau kondisi ini terus berlangsung, akan menggerus dana BPKH dan mempengaruhi pembiayaan jemaah pada tahun-tahun berikutnya. Kita melihat tantangan tersendiri, apalagi dana kas juga menunjukkan tren penurunan drastis,” ungkap Handi Risza, Wakil Kepala CSED INDEF.
Di sisi lain, peluang penguatan justru besar. Dalam paparannya, BPKH menargetkan nilai manfaat tahun 2025 sebesar Rp12,89 triliun, sementara total dana kelolaan diperkirakan tembus Rp188,86 triliun. Namun, potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan optimal karena masih terfragmentasinya sistem kelembagaan.
“Jika ketiga lembaga ini dijadikan satu, maka revisi UU Haji menjadi solusi. Mungkin saja lembaga ini bisa seperti Danantara atau sovereign halal fund global. Kita bisa belajar dari Abu Dhabi Investment Authority yang asetnya sudah mencapai ratusan miliar dolar,” lanjut Handi.
Tantangan lain yang perlu diantisipasi adalah penyelenggaraan haji ganda pada 2027 akibat berimpitnya kalender Hijriah dan Masehi. “Menilik lebih jauh, tahun 2027 ada dua musim haji berhimpitan. Maka akan ada dua kali penyelenggaraan haji dalam satu tahun. Kalau ini terjadi, berpotensi menggandakan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH),” tegasnya.
Terkait keberlanjutan fiskal, Nur Hidayah juga menekankan pentingnya keadilan pengelolaan dana. “Antrean 5,5 juta jemaah menunjukkan bahwa sistem belum memberi kepastian. Perlu optimalisasi keuangan haji agar nilai manfaat bisa dinaikkan dan dialokasikan secara adil bagi jemaah,” katanya, merujuk pada data bahwa return investasi tahun 2024 baru mencapai Rp11,56 triliun atau sedikit di atas target.
Prof. Murniati Mukhlisin dari CSED INDEF juga menyoroti aspek sosial dana haji. “Optimalisasi dana haji bukan hanya soal untung rugi, tapi tentang dampak sosial—bagaimana dana umat ini bisa menguatkan ekosistem syariah, menciptakan lapangan kerja, dan menurunkan ketimpangan,” ujarnya. Ia melihat adanya peluang dalam pengembangan ekosistem haji melalui sektor-sektor seperti logistik, transportasi, hingga digitalisasi pelayanan.
Tantangan memang tidak kecil—dari infrastruktur, regulasi, hingga digitalisasi layanan. Namun, seperti tergambar dalam berbagai paparan data, potensi fiskal dan dampak sosial dana haji juga sangat besar. Terintegrasinya kelembagaan dapat menjadi titik tolak penting dalam membangun sistem haji yang efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan.