BUSINESS

Menimbang Potensi Naik Jabatan dengan Menjadi "Yes Man"

Sikap kooperatif dan kolaboratif kini lebih diapresiasi.

Menimbang Potensi Naik Jabatan dengan Menjadi "Yes Man"Ilustrasi pekerja kantoran. (Doc: 123RF/pressmaster)
12 April 2024

Fortune Recap

  • Studi UCL menemukan bahwa pekerja dengan sifat mudah bekerja sama, rendah hati, dan altruistik berkontribusi pada kinerja tim lebih dari mereka yang agresif.
  • Pandemi Covid-19 membuat karyawan yang santai dan lamban marah terbukti menjadi favorit manajer dalam kondisi pembatasan interaksi langsung.
  • Kemudahan bergaul di tempat kerja sangat penting, karena tidak hanya menentukan kesuksesan karier tetapi juga aset untuk kesuksesan dalam setiap aspek kehidupan.
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - "Nice guys finish…first."   

Kalimat yang kesohor dari judul film dokumenter Richard Dawkins—yang ditayangkan BBC Horizon pada 1986—tersebut nampaknya relevan untuk menggambarkan kondisi persaingan di dunia kerja saat ini.

Sebab, berdasarkan studi beberapa peneliti University College London (UCL) bejudul “Kill chaos with kindness", para pekerja dengan sifat mudah bekerja sama, rendah hati, dan altruistik berkontribusi pada kinerja tim lebih daripada mereka dengan perilaku yang agresif.

Temuan tersebut seolah hendak membantah asumsi bahwa kompetitivitas dan kehausan akan kesuksesan di tempat kerja adalah kunci untuk mencapai posisi tinggi di perusahaan, dan pandemi mungkin menjelaskan perubahan tersebut.

Studi lebih awal dari University of California–Berkeley pada 2018, misalnya, menemukan bahwa sifat mudah diajak kerja sama (menjadi "yes man") sebenarnya bisa berdampak negatif pada karier seseorang.

Ada pula studi lainnya dari University of Copenhagen pada 2017 yang menyebut bahwa sifat mudah diajak kerja sama bahkan dapat mengurangi pendapatan seumur hidup. 

Namun sejak pandemi Covid-19 membuat berbagai negara memberlakukan pembatasan interaksi langsung (lockdown), yang menekan mental dan meningkatkan beban yang dihadapi kebanyakan pekerja, para karyawan yang santai dan lamban marah terbukti menjadi favorit manajer.

Fortune.com melansir studi UCL yang mengamati hampir 3.700 pekerja yang berkolaborasi dalam tugas-tugas kelompok selama periode 10 tahun, memperhatikan lima besar sifat kepribadian setiap pekerja: Neurotisme, ekstrovert, keterbukaan, keteraturan, dan kemudahan bergaul.

Seperti yang diperkirakan, neurotisme menurunkan kinerja tim secara keseluruhan, sedangkan tiga berikutnya—ekstrovert, keterbukaan, dan keteraturan—meningkatkan kinerja tim.

Meski empat sifat pertama tersebut telah secara konsisten dikenal meningkatkan semangat dan produktivitas sebelum pandemi, kemudahan bergaul memiliki hubungan dengan kinerja yang "tidak signifikan dan sangat bervariabel," dan pekerja yang mudah diajak kerja sama dianggap "tidak membantu atau berpotensi mengganggu," tulis para peneliti. 

Namun "di dunia baru ini," menjadi orang yang mudah bergaul di tempat kerja sangat penting. Sejumlah penelitian serupa yang mendukung temuan UCL pun bermunculan.

Pada 2022, sebuah studi dari University of Arkansas menemukan bahwa kemudahan bergaul tidak hanya menjadikan karyawan sukses dalam karier saat ini, tetapi juga merupakan aset untuk kesuksesan dalam setiap aspek kehidupan. 

"Kita tahu hal ini penting—mungkin sekarang lebih dari sebelumnya—karena kemudahan bergaul adalah sifat kepribadian yang terutama berkaitan dengan membantu orang dan membangun hubungan positif, yang tidak luput dari pemimpin organisasi," tulis para penulis Arkansas.

Mengapa sifat kooperatif dan kolaboratif tak selalu menjadi aset?

Related Topics

    © 2024 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.