FINANCE

Riset: Generasi Milenial Terobsesi Terlihat Kaya

Studi Wells Fargo mengungkap alasan di balik pura-pura kaya.

Riset: Generasi Milenial Terobsesi Terlihat KayaIlustrasi pebisnis muda/DOk. freepik/@freepic.diller
16 February 2024
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Milenial menghadapi tantangan keuangan yang berbeda dari generasi lain. Beragam kekhawatiran menghantui, biaya hunian yang tinggi, pembayaran pinjaman untuk pendidikan yang akan datang, hingga  hutang kartu kredit yang terus bertambah, Namun, mereka tetap menjadi generasi yang paling terobsesi dengan uang—dan generasi yang ingin menunjukkannya. Demikian diungkap studi terbaru dari Wells Fargo, perusahaan jasa keuangan multinasional asal Amerika yang berpusat San Francisco, California,

Melansir Fortune.com, studi juga mengungkapkan bahwa meskipun lebih dari setengah milenial yang berkecukupan mengatakan mereka "sangat terpengaruh" oleh krisis biaya hidup, 59 persen merasa penting untuk "terlihat atau tampak" sukses secara finansial di mata orang lain. Apa yang menjadi alasannya?

menurut studi terbaru dari Wells Fargo. Ini adalah tanda lain dari "disfungsi uang" (sebagaimana disebut oleh Intuit Credit Karma), di mana orang 

Salah satu faktor obsesi yakni terjebak “gagasan menjadi kaya”, sehingga mereka kehilangan pandangan tentang keadaan keuangan mereka yang sebenarnya. Studi Wells Fargo dilakukan terhadap milenial "berkecukupan" yang memiliki penghasilan setidaknya US$250.000 per tahun. Artinya tak hanya kaum muda berpenghasilan rendah yang merasa perlu untuk selalu “sejalan” dengan lingkungannya dan mendapat pengakuan.

Lebih dari 40 persen dari sekitar 1.000 responden, mengatakan penting untuk memiliki tanda-tanda kekayaan yang terlihat., baik itu dengan membeli mobil mewah, pakaian, maupun tempat tinggal. Dalam perbandingan, hanya 21 persen dari generasi X, 8 persen dari baby boomers, dan 7 persen dari silent generation merasa sama.

"Milenial yang berkecukupan sebenarnya bekerja keras dan meraih kesuksesan keuangan," kata Emily Irwin, Managing Director of Advice and Planning Wells Fargo, kepada Fortune.

Dia menambahkan, mereka berjuang untuk mendapat pengakuan dan sebagai hasilnya, ada tren berkembang untuk menyajikan diri dengan citra yang tidak mencerminkan situasi keuangan mereka sebenarnya. Pandangan ini dapat dikatakan sebagai disfungsi cara memandang uang dan kekayaan,

“Bagi beberapa orang, ini bahkan bisa menjadi mentalitas 'berpura-pura sampai Anda berhasil',” katanya,

Bahkan beberapa milenial terkaya menghadapi disfungsi uang, dan lebih dari 40 persen dari mereka harus mengandalkan kartu kredit atau pinjaman untuk mendanai gaya hidup mereka—semua sambil mengakumulasi utang, menunjukkan survei Wells Fargo. Sebagai gambaran, utang rata-rata warga Amerika di antara pemegang kartu kredit selama kuartal keempat tahun 2023 adalah US$6.864, menurut LendingTree. Dan milenial adalah salah satu konsumen yang paling kesulitan dengan tunggakan utang.

"Milenial telah melihat peningkatan terbesar dalam tingkat keterlambatan pembayaran mereka dan sekarang memiliki tingkat yang jelas di atas tingkat sebelum pandemi," kata peneliti Federal Reserve New York dalam panggilan pers November 2023. Menurutnya, situasi ini mengherankan, sebab di pasar kerja peluang mendapatkan pekerjaan masih terbuka luas.

Media sosial berpengaruh kuat

Faktor lainnya menurut Wells Fargo adalah paparan media sosial. Banyak milenial menghabiskan uang ketika kita melihat seberapa mudah dan sering mereka terpengaruh oleh media sosial—baik dalam bentuk iklan atau dorongan yang halus atau tidak dari influencer.

Christopher M. Naghibi, wakil presiden eksekutif dan chief operating officer di First Foundation Bank, mengatakan kini kita hidup di dalam masyarakat yang hiperseksualisasi, teralihkan, dan secara visual dirancang hanya di dalam tampilan layar,

"Gambar dan video tanpa henti ... ditempatkan di hadapan pemirsa, dan adalah sifat manusia untuk ingin seindah mungkin, berkelana dengan baik, dan yang lebih penting—kaya,” katanya.

Menariknya, data menunjukkan bahwa milenial yang berkecukupan tidak berbeda. Hampir 30 persen mengatakan bahwa mereka membeli barang yang sebenarnya tidak mampu mereka bayar agar bisa mengesankan orang lain atau "sejalan" dengan gaya hidup tertentu. Sementara, sepertiga lainnya melaporkan berbohong atau melebih-lebihkan tentang keuangan mereka untuk menjaga penampilan.

"Bagi milenial, sebagai generasi pertama di internet berarti 'menyamai orang lain' bukan hanya memiliki yang terbaik di blok atau di lingkungan Anda, tetapi juga merasa tekanan untuk menyamai tingkat konsumsi jaringan yang jauh lebih luas dari pengaruh online," kata Jonathan Ernest, profesor ekonomi di Case Western Reserve University.

Membeli untuk investasi jangka panjang

Dapat diartikan bahwa, milenial mungkin melihat lebih banyak manfaat dari memiliki barang mewah, karena mereka ingin dikagumi tak hanya dari teman sebaya, tetapi juga dari teman, keluarga, dan pengikut dari media sosial yang lebih besar. Milenial tidak membiarkan inflasi, utang, dan pinjaman mahasiswa menghalangi gaya hidup mewah mereka.

Meskipun demikian, “pementasan” untuk berpura-pura kaya tak akan bertahan lama. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, melakukan pembelian mahal seperti membeli rumah meskipun suku bunga hipotek tinggi bisa masuk akal bagi milenial karena tingkat penghasilan dari rekening tabungan relatif lebih rendah.

Untuk melawan disfungsi uang, para ahli setuju bahwa memikirkan jangka panjang tentang pembelian dapat membuat perbedaan. Irwin mengatakan, ia menantang milenial untuk tidak terlalu memanjakan diri dengan "perbaikan konsumen" atau "pembelian tinggi" dari membeli sesuatu yang baru, dan yang lain mendorong milenial untuk mempertimbangkan perencanaan keuangan jangka panjang.

"Membayar utang dengan suku bunga tinggi, dan memikirkan biaya kesempatan dari mengeluarkan satu dolar hari ini sebagai kehilangan kemampuan untuk mendapatkan bunga dari Investasi untuk hari esok dapat membantu milenial mempertimbangkan apakah pembelian barang mewah berikutnya benar-benar sebanding dengan biayanya," kata Ernest.

Related Topics