FINANCE

HSBC Minta Nasabah Setop Bisnis Batu Bara pada 2023

Banyak lembaga keuangan memperkenalkan kebijakan serupa,

HSBC Minta Nasabah Setop Bisnis Batu Bara pada 2023Gedung HSBC. (Unsplash/Joshua Lawrence)
15 December 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

JAKARTA, FORTUNE – The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited atau HSBC akhirnya menyampaikan kebijakan yang telah lama-lama ditunggu mengenai pembiayaan batu bara. Bank terkemuka Eropa untuk perusahaan Asia itu menyebut telah meminta semua nasabahnya untuk keluar dari bisnis “emas hitam” pada 2023.

Melansir Reuters, Rabu (15/12), HSBC berencana mengurangi eksposur pembiayaan batu bara setidaknya 25 persen pada 2025 dan 50 persen pada 2030. Meski demikian, khusus untuk nasabah non Uni Eropa dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), pendanaan masih mungkin mengalir hingga secara global dihentikan pada 2040.

"Kita perlu mengatasi beberapa masalah sulit secara langsung. Batu bara adalah salah satu masalah besar. Batu bara menyumbang 25 persen dari emisi gas rumah kaca global," kata Chief Sustainability Officer Grup HSBC, Celine Herweijer.

Bank itu mengatakan kebijakan barunya akan turut meredakan penggunaan batu bara sejalan dengan perkara perubahan iklim, dan bakal berlaku untuk semua bagian bisnisnya: mulai dari manajemen aset, berbagai aspek pembiayaan kembali, dan layanan konsultasi.

HSBC menyatakan keterbukaannya kepada klien energi yang sangat bergantung pada batu bara. Namun, bank itu menyatakan bakal bekerja sama dengan mereka untuk membantu beralih ke energi hijau. Bank tersebut sebelumnya juga menyatakan telah menetapkan komitmen tinggi untuk mencapai netral karbon pada seluruh pelanggannya pada 2050.  

Mendapat kritik

HSBC telah menghadapi tekanan dari investor dan aktivis untuk memangkas pendanaan kepada perusahaan batu bara. Terlebih di tengah perdebatan oleh pemerintah di seluruh Asia karena hasrat beralih dari sumber energi murah dan banyak digunakan menuju padat karbon demi memerangi perubahan iklim.

Jeanne Martin, manajer kampanye senior di ShareAction, sebuah grup yang bertujuan untuk meningkatkan aksi korporasi dalam masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola, mengatakan HSBC telah memperkenalkan kebijakan batu bara yang dengan sendirinya merupakan kemenangan bagi pemegang saham dan bank-bank terkait iklim. Namun, ke depan akan lebih banyak aksi yang dibutuhkan, katanya.

"Sementara langkah maju yang penting, kebijakan tersebut tidak memiliki urgensi dan ketelitian yang diperlukan untuk mencegah krisis iklim," kata Jeanne kepada Reuters.

Janji lembaga pembiayaan

HSBC tentu bukan bank pertama memperkenalkan penyetopan pembiayaan batu bara. Berdasarkan warta Reuters pada Selasa (2/11), studi dari Pusat Kebijakan Pembangunan Global Universitas Boston, menyebutkan hampir semua atau 99 persen dari berbagai lembaga keuangan berkomitmen memangkas investasi energi fosil. Di saat sama, meningkatkan dukungan energi hijau.

“Jika lembaga-lembaga ini memenuhi komitmen mereka, akan lebih mudah bagi negara-negara berkembang untuk menemukan pendanaan resmi untuk energi terbarukan dan penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara daripada membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru,” kata Rebecca Ray, salah satu penulis penelitian.

Hal itu setelah negara-negara G20 mengumumkan berhenti memberikan dukungan bagi proyek energi fosil di luar negeri. Pemerintahan Tiongkok, misalnya, telah memperkenalkan kebijakan serupa.

Keputusan Tiongkok itu berdampak langsung pada lembaga keuangan negara tersebut: Bank of China berjanji untuk mengakhiri proyek pertambangan dan listrik batu bara, dan diikuti Bank Pembangunan Tiongkok dan Bank Ekspor-Impor Tiongkok.

Studi tersebut mengatakan hanya tiga "ketidaksepakatan" utama yang tersisa, yaitu Bank Pembangunan Amerika Latin, Bank Pembangunan Islam, dan Bank Pembangunan Baru.

Related Topics