Pemerintah Klaim Penerimaan Pajak Mulai Pulih Maret

- Penerimaan pajak mulai pulih pada Maret 2025 setelah penurunan 30,2 persen pada Februari.
- Langkah perbaikan perpajakan meliputi reformasi struktural, percepatan proses pemeriksaan pajak, dan penyederhanaan proses restitusi pajak.
- Kebijakan baru terkait penetapan nilai kepabeanan juga diperkenalkan untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik di Indonesia.
Jakarta, FORTUNE - Di tengah eskalasi ketegangan perdagangan global yang dipicu oleh ancaman tarif tambahan dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terhadap produk Cina, kabar baik datang dari dalam negeri.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu), mengeklaim penerimaan pajak mulai menunjukkan sinyal pemulihan yang menggembirakan pada Maret 2025.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Nathan Kacaribu, menyampaikan penerimaan pajak pada bulan tersebut berhasil mencatatkan pertumbuhan positif secara tahunan (year-on-year). Kabar ini menjadi angin segar setelah sempat terjadi tekanan pada awal tahun akibat berbagai faktor teknis yang melanda sistem perpajakan.
"Turnaround-nya sudah mulai terjadi di bulan Maret," kata Febrio saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (7/4).
Febrio pun membeberkan penurunan penerimaan pajak pada dua bulan pertama 2025 disebabkan oleh restitusi dan kelebihan bayar pajak sebagai konsekuensi dari implementasi tarif efektif rata-rata (TER) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Penyesuaian batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang diperpanjang hingga 11 April 2025 juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi dinamika penerimaan pajak. Pemerintah mengambil langkah barusan demi memberikan kelonggaran waktu bagi masyarakat, terutama di tengah suasana libur Idulfitri.
"Di samping itu, PPN juga sempat kita relaksasi 10 hari," ujar Febrio.
Meskipun relaksasi tersebut sempat memberikan dampak pada arus kas penerimaan pajak, pemerintah memandang kebijakan ini sebagai langkah penting menjaga kelancaran aktivitas perekonomian masyarakat dan para pelaku usaha.
Kini, efek restitusi dan lebih bayar TER PPh 21 dikatakan sudah tidak lagi terlalu signifikan, sehingga penerimaan pajak pada Maret 2025 berhasil menunjukkan tren peningkatan secara tahunan.
Sebagai gambaran, per Februari 2025, penerimaan pajak mencapai Rp187,8 triliun, mengalami kontraksi 30,2 persen dibandingkan dengan periode sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp269,02 triliun.
Sementara itu, pada Maret 2024, total penerimaan pajak mencapai Rp393,91 triliun. Artinya, jika klaim Febrio terbukti akurat, maka penerimaan pajak pada Maret 2025 setidaknya harus bertambah lebih dari Rp207 triliun untuk menunjukkan pertumbuhan positif.
Langkah perbaikan perpajakan
Selain menyoroti tren penerimaan pajak, Febrio juga memberikan perhatian khusus pada serangkaian reformasi struktural yang terus digenjot melalui modernisasi sistem administrasi perpajakan, yang dikenal dengan nama Coretax.
Sistem tersebut menawarkan berbagai kemudahan bagi wajib pajak, mulai dari pengisian SPT yang sudah terisi sebagian (pre-populated), pengelolaan akun wajib pajak secara terintegrasi, hingga sistem akuntansi penerimaan negara yang lebih efisien.
Pemerintah juga mengambil langkah cepat dalam mempercepat proses pemeriksaan pajak melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 yang telah berlaku sejak 10 Februari lalu. Melalui regulasi ini, durasi waktu pemeriksaan umum dipangkas secara signifikan dari 12 bulan menjadi hanya 6 bulan.
Sementara itu, untuk pemeriksaan yang lebih kompleks seperti transfer pricing dan grup usaha, waktunya dipersingkat dari 24 bulan menjadi 10 bulan.
"Ini percepatan yang signifikan, bukan semata-mata karena kita berhadapan dengan Amerika Serikat atau isu luar negeri lainnya. Ini adalah bagian dari reformasi menyeluruh untuk mendukung dunia usaha," kata Febrio.
Upaya penyederhanaan proses restitusi pajak juga menjadi fokus utama pemerintah. Melalui PMK Nomor 119 Tahun 2024, wajib pajak yang mengalami kelebihan pembayaran PPh hingga Rp100 juta kini dapat memperoleh pengembalian dana tanpa melalui proses pemeriksaan yang panjang.
Bahkan, insentif berupa pengurangan sanksi juga diberikan jika dalam pemeriksaan ditemukan adanya kekurangan pembayaran pajak.
"Restitusi ini hak wajib pajak, jadi sudah seharusnya prosesnya dipermudah," kata Febrio.
Menurutnya, mulai 1 Januari 2025 proses penelitian dan validasi pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan nilai di bawah Rp5 miliar akan dilakukan secara otomatis melalui sistem Coretax.
Dalam ranah kepabeanan, pemerintah juga memperkenalkan kebijakan baru terkait penetapan nilai kepabeanan. Kebijakan ini memberikan angin segar bagi para importir, karena mereka kini dapat menggunakan nilai transaksi sebenarnya sesuai dengan rentang harga (price range) yang telah ditetapkan, asalkan dapat memberikan bukti transaksi yang valid.
Langkah ini diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum dan meningkatkan efisiensi dalam proses impor.
"Semua ini adalah langkah-langkah yang kami siapkan bukan karena kebijakan Trump, tetapi murni karena kebutuhan reformasi struktural demi menciptakan iklim usaha yang lebih baik di Indonesia," ujar Febrio.